Oleh: Agustianto
Pendidikan menjadi kunci kemajuan sebuah bangsa. Bangsa yang kualitas pendidikannya rendah, akan terpuruk dan tertinggal dari bangsa-bangsa lain. Sebaliknya, bangsa yang pendidikannya maju, akan unggul dari bangsa manapun. Indonesia merupakan negara yang kualitas tingkat pendidikannya sangat rendah. Rangking Indonesia dari tahun ke tahun terus menurun. Menurut HDI (Human Development Index), pada tahun 2000, Indonesia menempati rangking 109 dari 174 negara. Pada tahun 2002 , Indonesia menempati rangking 110, dan pada tahun 2003 Indoneia menempati rangking 112. (Sumber Republika, 3/3/04)
Sungguh ironis dan menyedihkan kondisi kualitas pendidikan anak Indonesia tersebut. Salah satu indikator keterpurukan pendidikan bangsa Indonesia adalah 50 % anak usia SMP di Indonesia, tidak tamat SMP. Krisis ekonomi yang mendera negeri ini, semakin menyulitkan rakyat Indonesia untuk memajukan dan meningkatkan kualitas pendidikan. Kenaikan BBM baru-baru ini, yang dikuti inflasi lebih dari 18 % (yoy), semakin membesarkan angka kemiskinan mencapai 100 juta jiwa lebih (Sesuai kritaeria ILO).. Dampak dari kondisi tersebut, banyak anak-anak sekolah dan mahasiswa kesulitan dalam membiayai pendidikannya.
Kondisi kemiskinan yang menggurita yang mengibatkan terpuruknya pendidikan ummat, harus dientaskan dengan segera. Salah satu upaya strategis untuk meningkatkan tingkat pendidikan ummat Islam tersebut adalah melalui gerakan wakaf produktif untuk beasiswa pendidikan.
Wakaf Produktif
Sesungguhnya Islam punya solusi yang ampuh untuk gerakan pemberdayaan ummat melalui pendidikan.. Salah satu solusinya adalah dengan mendayagunakan wakaf secara produktif. Disebut produktif, karena dana wakaf digunakan (diinvestasikan) untuk membiayai usaha-usaha produktif sedangkan bagi hasilnya diperuntukkan bagi kepentingan sosial-ekonomi ummat, seperti beasiswa pendidikan. Dalam sejarah, wakaf, memiliki peran yang sangat penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, baik dalam bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial dan kepentingan keagamaan.
Wakaf merupakan bagian penting dari bentuk infak. Dalam Islam, perintah infak memiliki dasar yang sangat kuat. Allah SWT berfirman dalam Alquran, :Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya (QS Ali Imran (3) ayat 92). Dalam hadits juga cukup banyak anjuran untuk berwakaf.
Cash Wakaf
Salah satu bentuk wakaf produktif yang sangat populer dan banyak dikembangkan saat ini adalah cash wakaf (wakaf uang tunai). Bangladesh adalah sebuah negara muslim yang dianggap sukses dalam memberdayakan ummat melalui infaq produktif dengan menerapkan konsep cash wakaf. Di negara itu, masyarakat Islam didorong untuk berinfak dalam bentuk waqaf, sebanyak 1 dollar. Dana yang terkumpul tersebut dikelolala oleh bank syari’ah, lalu bagi hasilnya digunakan untuk kepentingan sosial, pendidikan, kesehatan dan kegiatan keagamaan. Dana cash wakaf yang terkumpul digunakan untuk membiayai usaha-usaha ummat sehingga implikasinya dapat menciptakan lapangan kerja dan mengatasi kemiskinan. Adalah Prof.Dr. M.A, Mannan sebagai perintis dan pelopor gerakan cash wakaf tersebut. Dengan infak produktif tersebut dia bahkan mendirikan bank syari’ah dengan nama SIBL (Social Invesment Banking Limited)
Di Timur Tengah program wakaf produktif dalam bentuk cash wakaf telah lama dinikmati keberhasilannya. Sebut saja Al Azhar University Cairo merupakan salah satu potret keberhasilan program wakaf uang tunai. Di Indonesia potensi mengembangkan wakaf produktif sangat besar, mengingat bank-bank syari’ah yang mengelola dana secara profesional telah muncul. Bank Muamalat Indonesia, merupakan bank syari’ah pertama yang telah mengembangkan konsep infak produktif tersebut. Mekanismenya, umat Islam menginvestasikan sejumlah uang di bank syariah, dalam masa dan jumlah tertentu, misalnya Rp 2.000.000,- untuk jangka waktu satu tahun, dengan niat bagi hasilnya digunakan untuk beasiswa pendidikan. Diasumsikan, nilai bagi hasil yang diperoleh per bulan dari dana tersebut sekitar Rp 6.000 s/d Rp 8.000 (sesuai dengan hasil usaha bank). Jika ada ummat Islam sebanyak 10.000 orang yang berwakaf secara produktif sebesar itu, maka dana beasiswa yang terkumpul sebanyak 60 sampai 80 juta. Dana ini bisa membantu dan menyelamatkan biaya pendidikan anak tak mampu sebanyak 800 orang dengan asumsi Rp 100.000 perbulan. Apabila setiap kantor cabang bank syari’ah melakukan gerakan ini, maka dipastikan puluhan ribu anak-anak miskin bisa disekolahkan, bahkan sampai Perguruan Tinggi.
Yang unik dari gerakan cash wakaf yang produktif ini, ialah, bahwa dana investasi yang berjumlah misalnya, Rp 2.000.000 tersebut tidak akan hilang sedikitpun. Keberadaannya terjamin, sebagaimana dana deposito yang ada di bank syari’ah. Yang diinfakkan hanyalah bagi hasilnya. Jadi , cash wakaf ini, bisa dibatasi waktunya (muaqqat), sesuai dengan pendapat mazhab Maliki dan ulama-ulama kontemporer. Masa cash wakaf tersebut bisa 1 tahun, 2 tahun, dst dan bisa juga untuk selamanya (muabbad). Fatwa MUI dan UU No 41/1994 tentang wakaf uang telah melegitimasi wakaf muaqqat (yang terbatas waktunya) tersebut.
Selama ini, bentuk benda wakaf umumnya berupa harta benda tak bergerak, seperti tanah, bangunan dan benda-benda lainnya. Pemnfataannya pun bersifat konsumtif. Sementara wakaf uang, masih sangat terbatas Padahal di berbagai negara cash wakaf ini cukup berkembang. Menurut data Menag, porsi dana cash wakaf yang ada saat ini di dunia lebih dari 20 % dari total asset wakaf. .
Perspektif Fikih.
Ulama Hanafiyah membolehkan wakaf uang, sebagaimana kebolehan benda bergerak lainnya seperti mewakafkan buku, mushhaf,dll. Dalam masalah ini Ulama Hanafiyah mensyaratkan nilai uang tersebut tetap (baqa’), atau tidak hilang. Dari sinilah kalangan ulama Hanafiyah berpendapat boleh mewakafkan dinar dan dirham sepanjang diinvestasikan dalam bentuk mudharabah atau musyarakah.
Wahbah az-Zuhaily berpendapat mewakafkan uang dibolehkan tapi dengan cara menjadikannya modal usaha dengan prinsip mudharabah, dan keuntungan diserahkan kepada mauquf ‘alaih. Imam Bukhari dengan mengutip Imam Zuhri menyebutkan kebolehan wakaf dinar dan dirham semacam di atas.(M.A.Mannan, 1997)
Dengan demikian, dapat disimpulkan, ulama yang membolehkan wakaf uang berpendapat, wakaf uang diperbolehkan asal uang itu diinvestasikan dalam usaha bagi hasil (mudharabah), kemudian keuntungannya disalurkan sesuai dengan tujuan wakaf. Dengan demikian uang yang diwakafkan tetap, sedangkan yang disampaikan kepada mauquf ‘alaih adalah hasil pengembangan wakaf uang tersebut. Mauquf alaih dalam hal ini adalah anak miskin yang sekolahnya dibiayai.
Wakaf uang atau wakaf tunai merupakan hal yang baru di Indonesia. Padahal di beberapa Negara seperti Mesir, Turki, Tunisia, Arab Saudi, Bangladesh masalah wakaf uang sudah lama dikaji dan dikembangkan. Bahkan pada periode Mamluk dan Turki Usmani wakaf uang sudah dikenal luas. Kenyataan ini menunjukkan wakaf uang merupakan instrumen keuangan umat yang sangat potensial untuk dikembangkan.
Dalam Undang No 41 Tahun 2004, masalah wakaf uang dituangkan secara khusus dalam bagian kesepuluh Wakaf Benda Berupa Uang yang terdapat pada pasal 28-31. Dalam pasal 28 dinyatakan wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui lembaga keuangan syari’ah.
Berdasarkan Undang-Undang tersebut, maka peluang pengembangan wakaf produktif dengan cash wakaf terbuka luas. Salah satu peruntukan cash wakaf yang perlu mendapat periorotas adalah membantu biaya sekolah (pendidikan) anak miskin. Gerakan ini perlu dikembangkan dan disosialisasikan secara massif dan terus-menerus mengingat bank-bank syari’ah yang mengelola dana dengan manajemen profesional telah berkembang pesat. Lembaga keuangan Islam telah menunjukkan kenerja terbaiknya, sehingga seringkali mendapat penghargaan internasional dalam berbagai bidang/aspek.
Penutup
Wakaf produktif melalui wakaf uang memiliki multiflier effect yang luar biasa untuk memberdayakan ummat, baik dalam bidang pendidikan, ekonomi maupun sosial lainnya, baik bagi anak-anak tak mampu maupun bagi pengusaha kecil. Dana yang terkumpul digunakan untuk membiayai pengusaha lemah, tentunya setelah melakukan analisa kelayakan, agar dana tersebut tidak hilang atau rugi. sedangkan bagi hasilnya digunakan untuk beasiswa pendidikan anak tak mampu, tetapi berprestasi. Sementara dana yang diinvestasikan (diwakafkan) bisa ditarik kembali pada waktu tertentu, sesuai keinginan orang yang berinfak (wakaf muaqqat). Mudah-mudahan masyarakat Indonesia dapat melaksanakan gerakan ini, sebagaimana di negara-negara lain, sehingga upaya pemberdayaan umat dapat diwujudkan.(Penulis adalah Sekjend DPP IAEI dan Dosen Pascasarjana PSTTI UI Kekhususan Ekonomi dan Keuangan Islam).
0 comments:
Post a Comment