Home » » Biografi Pendiri Hidayatullah

Biografi Pendiri Hidayatullah

Masa Kelahiran Ust. Abdullah Said (alm)
Ditulis oleh Admin
Senin, 15 Desember 2008

Muhsin Kahar dilahirkan tepat pada hari proklamasi kemerdekaan R.I. Jum’at, 17 Agustus 1945 di sebuah desa bernama Lamatti Rilau, salah satu desa dalam wilayah Kecamatan Sinjai Utara Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Letaknya berada pada ketinggian sehingga dari desa ini dapat terlihat jelas hamparan pulau-pulau yang ada di perairan Teluk Bone. Terutama Pulau-pulau Sembilan yang terdiri dari Pulau Kambuno, Pulau Liang-Liang, Pulau Burung Lohe, Pulau Batang Lampe, Pulau Kodingareng, Pulau Katindoang, Pulau Kanalo Satu, Pulau Kanalo Dua dan Pulau Larearea.
Pemandangan ke arah hamparan pulau-pulau inilah yang membuat perasaan agak terbuka atas keterpencilan kampung ini.

Pada saat kelahirannya, ayahnya, Kyai Abdul Kahar Syuaib menjabat sebagai Imam di Kampung Lamatti yang lebih dikenal dengan sebutan Kampung Panreng (dalam bahasa setempat panreng berarti kuburan). Karena ayahnya seorang ulama yang kharismatik di tempat itu, sehingga keluarganya mendapat tempat tersendiri dimata masyarakat. Ayahnya lebih populer dikalangan masyarakat dengan sebutan Puang Imang,[1] karena cukup lama menjadi imam di kampung itu.

Nama Muhsin Kahar berubah menjadi Abdullah Said pada saat menjadi buronan sehubungan dengan Peristiwa pengganyangan perjudian di Makassar yang disebut lotto (lotre totalisator) yang dia dalangi pada Hari Kamis 28 Agustus 1969.

Ayahnya tiga kali nikah tapi tidak dengan memadu, menghasilkan 12 orang anak. Ibu Muhsin Kahar bernama Aisyah, lebih dikenal dengan panggilan Puang Ica. Merupakan istri terakhir dinikahi setelah istri pertama dan kedua meninggal dunia. Puang Ica melahirkan empat orang anak semuanya laki-laki: Junaid Kahar (Puang Juna), Lukmanul Hakim Kahar (Puang Luke’)[2], Muhsin Kahar (Puang Esseng) dan As’ad Kahar (Puang Sade’).

Dari istri pertama, Nafisah lahir dua orang anak: Asiah Kahar, meninggal dalam usia 3 tahun dan Muhammad Djamil Kahar (Puang Milu).

Dari istri kedua, Bun-yamin (Puang Bune), lahir Zubair Kahar (Puang Bere'), Juhaefah Kahar (Puang Efah), Radhiyah Kahar (Puang Radi), Maryam Kahar (Puang Mari’), Hamdanah Kahar (Puang ‘Ndah) dan Sitti Zulaiha Kahar (Puang Itti).

Ketika masih dalam kandungan sempat menjadi bahan perbincangan dikalangan keluarga. Karena usia kandungan ibunya sudah mencapai dua tahun namun sang anak belum juga lahir. Hanya ayahnya yang selalu mengingatkan sang ibu agar tetap bersabar menunggu kelahirannya sampai kapanpun yang dikehendaki oleh Allah SWT. Pendapat itu diperkuat oleh pamannya, sorang ulama , K.H. Hasan Syuaib, Kadhi Bulo-Bulo di Sinjai, ayah kandung K.H.Ahmad Marzuki Hasan yang populer dengan sebutan Kali Cambang. Sejak usia kandungan itu memasuki tahun kedua timbul tanggapan miring bahwa mungkin yang dikandung itu bukan manusia. Mungkin buaya atau entah apa. Sang ayah marah besar kalau mendengar tanggapan miring seperti itu. Karena ada keyakinan dalam hati sang ayah bahwa anak yang dikandung itu kelak akan jadi orang hebat, sebagaimana halnya Imam Syafi’i yang juga lama dalam kandungan.

Akhirnya bayi yang tadinya mencurigakan itu lahir juga dalam keadaan normal dan sehat layaknya bayi-bayi pada umumnya di sebuah rumah di Kampung Panreng. Kampung yang juga tempat kelahiran beberapa orang yang tergolong tokoh seperti K.H.Ahmad Marzuki Hasan, mantan Kepala Kementerian (KpK) Dalam Negeri dan KpK Penerangan - DI/TII dibawah pimpinan Abdul Qahhar Mudzakkar, mantan Pengurus Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan dan Tenggara, Pendiri Pondok Pesantren Darul Istiqamah Maccopa-Maros Sulsel. Juga kampung kelahiran Drs. H. Muhammad Suyuthi PaE, mantan Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Sulsel, dosen senior IAIN Alauddin Makassar. Dan juga kampung kelahiran seorang mantan pejabat pusat Departemen Perhubungan, Ir. H. Andi Sulthan Said, yang menyelesikan pendidikannya di Jepang kemudian menjadi Direktur Utama (Dirut) BKI (Badan Klasifikasi Indonesia).



Pada saat kelahirannya kampung ini masih sangat ketinggalan dari segi pembangunan fisik. Jalanan dari kampung ini menuju ibu kota kabupaten jauh dari apa yang terlihat sekarang, yang sudah beraspal dengan kendaraan sepeda motor dan kendaraan roda empat yang tidak putus-putusnya. Waktu itu orang-orang kampung yang ingin berkunjung ke kota kabupaten umumnya berjalan kaki, paling banter menggunakan sepeda engkol atau menunggang kuda. Sehingga jarak yang begitu dekat, empat kilometer, harus ditempuh dengan waktu yang cukup lama.

Kota Sinjai yang merupakan ibukota Kabupaten Sinjai sendiri masih sangat jauh tertinggal dibanding kota-kota lain di Indonesia. Penerangan listriknya yang dikelola oleh MPS (maskapai perusahaan sejenis), masih redup-redup. Bahkan hingga akhir tahun enampuluhan Sinjai masih tergolong daerah yang sangat tertinggal. Dalam sebuah majalah terbitan ibu kota pernah memuat sebuah iklan yang mempromosikan salah satu jenis obat yakni salonpas, berbunyi, “Dikenal mulai dari Jakarta sampai Sinjai”. Ini menggambarkan betapa tertinggalnya Kabupaten Sinjai.

Namun bagaimanapun tertinggalnya dari segi pembangunan fisik tapi maraknya kehidupan beragama patut dibanggakan. Orang tuanya sendiri sebagai ulama di kampung itu sekaligus sebagai imam di Tingkat Distrik (kecamatan sekarang) memiliki banyak murid yang belajar padanya. Demikian pula di kota Sinjai ada dua ulama besar, K.H.Muhammad Thahir yang menjadi kadhi di Balangnipa yang dikenal dengan sebutan Kali Thahirong dan K.H. Hasan yang menjabat sebagai Kadhi Bula-Bulo yang dikenal dengan sebutan Kali Cambang. Kondisi ini sangat menolong pertumbuhan spritual Muhsin kecil. Sehingga ketertinggalan yang dialami kampungnya serta daerah Sinjai pada umumnya baginya mengandung hikmah yang besar. Karena dengan demikian involusi moral yang terjadi di kota-kota besar tidak sempat merembes ke daerah ini. Terhambat oleh transportasi yang belum lancar, disebabkan jalanan belum licin, jembatan banyak mengalami kerusakan. Apalagi memang kendaraan waktu itu masih dapat dihitung jari. Bacaan-bacaan yang dapat merusak moral anak belum banyak dikenal masyarakat. Pemilik pesawat radio saja masih sangat terbatas, disebabkan tingkat perekonomian masih sangat rendah.

Untuk pendidikan dasarnya dia sangat tertolong dengan adanya Sekolah Dasar yang waktu itu bernama Sekolah Rakyat didirikan di kampungnya. Di sekolah itulah dia belajar. Namun hanya sampai kelas III, dari tahun 1952 hingga 1954 karena terpaksa harus meninggalkan kampung halamannya yang tercinta itu mengikuti sang ayah yang pindah ke Makassar.
Ketika itu kondisi keamanan di Sinjai semakin mencekam. Apalagi dengan terbunuhnya seorang anggota polisi yang ditengarai pembunuhnya adalah Zubair Kahar, komandan pemberontak yang saudara kandung Muhsin Kahar. Ayahnya setiap saat mendapat panggilan untuk diinterogasi sehubungan dengan pembunuhan yang dihubungkan dengan anak kandungnya itu. Itu yang membuat sang ayah merasa terusik sehingga tidak betah lagi tinggal di kampung, memilih hijrah ke Makassar untuk mencari ketenangan.

[1] Panggilan kehormatan kepada Imam di kampung.
[2] Menurut kebiasaan orang Bugis nama-nama selalu disingkatkan atau membuat nama singaktan untuk memudahkan panggailan.


Pindah Ke Makasar

Agak berat juga rasanya meninggalkan kampung halaman yang telah membesarkannya itu. Betapapun bersahajanya kampung itu namun baginya banyak kenangan indah yang tidak mudah dilupakan. Letak desanya yang ada pada ketinggian dengan pepohonan yang rimbun selalu mengalirkan kesejukan. Apalagi jika memandang hamparan pulau-pulau di perairan Teluk Bone, memberi energi tersendiri dalam jiwanya.
Sulit terlupakan manis dan lezatnya pao apang[3]. Ada juga penjang, jenis ikan teri benang, halus berwarna putih, munculnya hanya sekali dalam setahun. Biasanya dipanggang dengan menggunakan daun pisang sebagai pembungkus. Makannya dicampur dengan garam, cuka atau jeruk nipis dan lombok. Sedap sekali. Juga ikan teri basah yang direbus pakai asam dicampur dengan biji jampu sereng (jambu monyet) yang masih muda, teramat sedap dijadikan lauk. Juga buah yang disebut coppeng ( jamblang, jambu keling), jampu salo’ (jambu air) dan jambu biji yang semuanya mudah diperoleh tanpa harus mengeluarkan uang.

Apalagi kakeknya (ayah dari ibunya) yang dikenal dengan panggilan Emme. Nama sebenarnya adalah Puang Adang sangat rajin berkebun. Pribadinya sangat menarik. Banyak sekali buah-buahan dalam kebunnya. Orang kampung mengenalnya sebagai orang tua yang rajin berzikir. Pada waktu mencangkul atau menyabit rumput dia lakukan sambil berzikir, kedengaran bergumam dari jauh. Tidak pernah mau menjual hasil kebunnya. Kalau hasil kebunnya dicuri orang lalu ada yang melaporkan kepadanya, Puang Emme hanya ketawa sambil menjawab, "Makessinni tu ko iyatona mmalangi alena, nasaba nakko iya' malangngi, depa nattentu napujina"[4].. Dan masih banyak lagi kenangan yang mengandung nilai nostalgik yang sangat sulit dilupakan. Juga kehidupan orang desa yang diwarnai keramahan, gotong royong dan persaudaraan yang kental yang sulit ditemukan pada kehidupan masyarakat kota.

Kini dia harus berangkat meninggalkan kampung yang telah memberinya warna hidup baik fisik maupun jiwa, menuju kota Makassar, 227 Km dari kampungnya. Sebuah kota besar yang sudah lama dikenal namanya namun belum pernah hidup didalamnya. Informasi yang sering didengarnya bahwa kehidupan perkotaan adalah cenderung kejam. Tapi dibalik itu sering pula menangkap cerita bahwa di kota besar juga kita dapat menjadi orang besar, sesuatu yang dicita-citakannya.

Memprihatinkan, memang, kehidupan yang dijalaninya pada waktu bermula tiba di Ibu Kota Propinsi Sulawesi[5]. Apa boleh buat terpaksa harus dijalaninya. Maklum orang tua tidak punya pekerjaan yang dapat mendatangkan uang. Tetapi karena orang tuanya seorang ulama yang kharismatik sehingga anggota masyarakat di lingkungan yang dia tempati yang kebanyakan berasal dari kampungnya, Sinjai, sehingga sang ayah ditempatkan secara proporsional.

Di Kampung Malimongan Baru (Jalan Pong Tiku dan sekitarnya sekarang) dipercayakan mengimami sebuah mesjid yang dikenal dengan nama Mesjid Lailatul Qadri sambil memberi tuntunan agama di mesjid itu. Lewat kegiatan ini keperluan hidup agak teratasi namun sangat jauh dari cukup. Untung sang Ibu sangat giat mencari nafkah untuk membiayai anak-anak yang sekolah. Baru anak yang tertua, Djunaid Kahar yang telah berumah tangga. Tapi belum sanggup juga membantu. Apalagi di rumah yang ditempati itu ternyata banyak juga keluarga yang nebeng. Keluarga dari kampung yang belum mempunyai pekerjaan tetap dan belum memiliki rumah tempat tinggal. Rumah ini dijadikan tempat transit sambil mencari lowongan kerja.

Ada keluarga dekat yang bernama Haji Muhiddin, yang lebih populer dikalangan keluarga dengan panggilan Tuang Muhidding. Jabatannya lumayan tinggi sebagai Menteri Kejaksaan Negara Indonesia Timur (NIT), cukup berjasa menampung beberapa orang keluarga bekerja di Kejaksaan.

Pemandangan baru yang dia saksikan yang sangat tidak mengenakkan perasaannya di Makassar adalah seringnya ada orang yang mabuk-mabukan dengan teriakan-teriakan yang tidak sedap didengar telinga. Mereka berkumpul di satu tempat yang disebut lontang[6]. Ditempat itu mereka minum ballo[7] beramai-ramai sambil makan baluta[8], atau ikan, ayam atau bebek yang dipanggang. Sering juga terjadi perkelahian antara kelompok anak muda yang hanya disebabkan karena persoalan sepele, karena ketersinggungan perasaan atau karena persoalan perempuan, dll. Semuanya tidak pernah disaksikan dikampungnya.

[3] Jenis mangga yang manis sekali, ukuran buahnya sedang, jarang terdapat di daerah lain.
[4] Bhs Bugis Sinjai artinya: Bagus sekali kalau dia sendiri yang ambil untuk dirinya karena sudah pasti dia senangi, kalau saya yang beri belum tentu dia menyenanginya.
[5] Waktu itu Sulawesi belum terbagi-bagi atas beberapa Propinsi seperti sekarang.
[6] Bahasa Makassar artinya tempat menjual dan minum minuman keras.
[7]Bahasa Mks yang berarti arak. Kalau arak yang dibuat dari beras yang difermentasi bernama ballo ase. Yang diambil dari nira aren bernama ballo inru. Dan yang diambil dari nira nipah disebut ballo nipa.
[8] Bahasa Makassar yang berarti marus, yakni darah kental yang direbus dan diberi rempah,
makanan haram ini sangat disenangi karena mirip hati.



Bintang Kelas

Setelah pindah ke Makassar, Muhsin Kahar meneruskan sekolahnya di kota itu. Ia diterima duduk di Kelas IV Sekolah Rakyat No 30. Dijalaninya hingga tahun 1958. Di SR ini dia selalu menjadi bintang kelas karena menguasai seluruh mata pelajaran termasuk pelajaran menggambar. Padahal semestinya murid-murid yang berada di kota lebih unggul dibanding murid-murid dari pedalaman karena pelajarannya lebih teratur dan lebih tinggi materinya. Tapi kenyataannya tidak demikian. Murid-murid yang lahir dan besar di kota dikalahkannya semua. Dia pernah mengangkat nama sekolahnya karena ketika diadakan pertandingan menggambar antar sekolah dasar se Kota Besar Makassar (KBM), hasil coretannya dinilai terbaik. Dia juga sering di tugaskan oleh gurunya menyalin pelajaran di papan tulis karena tulisannya sangat bagus.
Ketika mengikuti ujian akhir Sekolah Rakyat dia mendapatkan nilai tertinggi. Sehingga sangat memungkinkan memilih sekolah favorit. Dia tidak memilih sekolah umum tapi mengincer sekolah agama yakni Pendidikan Guru Agama Negeri 6 Tahun (PGAN 6 tahun). Dia memilih sekolah ini untuk melanjutkan pendidikannya karena disamping mempelajari agama juga termasuk sekolah yang sangat didambakan waktu itu. Karena tamatan sekolah ini tidak perlu lagi melamar kerja, langsung ditempatkan. Sekolah ini satu-satunya Pendidikan Guru Agama milik pemerintah di kawasan Indonesia Timur.

Satu kebanggaan tersendiri kalau dapat lolos masuk ke sekolah ini karena yang diterima hanya murid-murid yang berprestasi dan lulus test dilengkapi surat keterangan dokter. Disektor lain sangat menguntungkan terutama bagi orang-orang yang tidak mampu dari segi pembiayaan seperti dia. Karena siswa-siswa di sekolah ini setiap bulannya menerima tunjangan ikatan dinas (siswa-siswa menyingkatkannya dengan sebutan ID). Dia sangat senang karena dengan diterimanya di sekolah ini, sedikit dapat meringankan beban orang tua untuk pembiayaan sekolah.

Di sekolah ini dia juga selalu menjadi bintang kelas dan terkenal sebagai siswa yang pandai pidato. Disamping itu dia juga selalu menjadi ketua kelas hingga kelas VI. Dalam pertemuan-pertemuan selalu dia dipercayakan memimpin. Memang sejak duduk di bangku PGAN 6 tahun itu dia sudah dikenal sebagai siswa yang berpengetahuan luas. Mungkin karena kerajinannnya membaca. Tunjangan ID-nya setiap bulan memang hampir tidak ada yang tersisa, semua dibelikan buku-buku. Tidak seperti teman-temannya yang menjadi prioritas adalah pakaian untuk penampilan. Maklum di sekolah itu bercampur antara cowok dengan cewek.

Ceweknya rata-rata cantik-cantik dan manis-manis. Muhsin Kahar sangat kurang perhatiannya kepada pakaian. Sehingga sering dia dengan tidak malu-malu menggunakan sarung ke sekolah kalau celananya sedang dicuci dan belum sempat kering. Dia juga akrab dengan kopiah hitam di kepalanya. Teman-temannya sering ketawa sinis melihatnya, karena tidak lazim, tapi dia cuek saja termasuk terhadap cewek-cewek manis. Karena tidak ada juga teman wanitanya yang akrab. Dia tidak pusing dengan kesinisan teman-temannya. Soalnya gurunya diam-diam saja menyaksikan keanehan itu. Mungkin karena dia termasuk siswa yang sangat berprestasi dari segi pelajaran dan sektor-sektor lain. Lagi pula peraturan tentang pakaian waktu itu belum seketat sekarang.

Hal lain yang menyenangkan dia belajar di sekolah ini karena dapat berkenalan dengan siswa-siswa yang berasal dari beberapa daerah seperti Ternate, Manado, Gorontalo, Sangir Talaud, Sulawesi Tenggara dan siswa-siswa yang berasal dari Sulawesi Selatan sendiri.



Meninggalkan Bangku Kuliah Buat halaman ini dlm format PDF Cetak halaman ini Kirim halaman ini ke teman via E-mail
Ditulis oleh Admin
Senin, 15 Desember 2008
Lulus dari sekolah lanjutan PGA Neg. 6 tahun juga dengan nilai tinggi. Sehingga mendapat tugas belajar[9] ke IAIN[10](Institut Agama Islam Negeri) Alauddin Makassar. Hanya satu tahun mengikuti kuliah lalu berhenti. Dia merasa tidak ada tambahan ilmu yang berarti yang didapat selama kuliah. Semua materi kuliah yang diberikan dosennya telah dibacanya. Akhirnya dia menarik kesimpulan bahwa kalau duduk beberapa tahun di bangku kuliah cukup menyita banyak waktu dan energi, sementara hasilnya jauh tidak seimbang dengan apa yang telah dikorbankan. Kalau sekedar untuk mendapatkan predikat sarjana bukan itu yang dia perlukan. Walaupun pada waktu itu titel sarjana sangat mahal, bisa membuat orang besar kepala. Menurut dia lebih tepat kalau aktif di organisasi, giat berda’wah dan gencar membaca. Itulah yang menjadi alasannya sehingga meninggalkan bangku kuliah.

Ketika dia telah menjadi pimpinan pesantren yang telah memiliki cabang di seluruh Indonesia, sering dia mengungkapkan bahwa, “Seandainya saya dulu meneruskan kuliah sampai sarjana, paling banter hanya menjadi kepala kantor Departemen Agama di Sulawesi Selatan, iutpun kalau memenangkan pertarungan, bergelut dengan urusan yang bertentangan dengan hati nurani, sebagaimana yang sering diungkapkan rekan-rekan bekas teman sekolahnya yang menduduki jabatan itu.

Terusik juga perasaannya kalau teman-teman sekuliahnya menganggap dia sombong tidak mau mengikuti kuliah karena telah mengetahui apa yang dikuliahkan oleh dosen-dosen. Tapi karena dia memiliki pandangan sendiri terhadap dunia perkuliahan yang banyak sekali menyia-nyiakan waktu berbincang ngalor ngidul antara teman-teman mahasiswa dan mahasiswi yang tidak ada hubungannya dengan perkuliahan, bahkan terkadang mengarah kepada hal-hal yang sebenarnya sangat tidak wajar dibicarakan. Apalagi sebagai mahasiswa-mahasiswi yang menyandang predikat mahasiswa-mahasiswi Islam. Sehingga dia berfkir untuk amannya dia memilih berhenti dari kegiatan kuliah dari pada setiap hari menderita batin.

Dia merasakan apa yang diperolehnya selama ini lewat organisasi, membaca buku-buku, mengikuti ceramah-ceramah di mesjid dan belajar langsung kepada ulama-ulama serta berkutat dalam dunia da’wah, lebih banyak dari apa yang diperoleh lewat bangku kuliah. Apalagi kalau dosennya hanya menggunakan gaya diktator alias membuat dan menjual diktat.

[9] Bea siswa menurut istilah sekarang.
[10] Universitas Islam Negeri (UIN) sekarang.


Belajar Lewat Bacaan

Kegemaran membaca buku sudah terlihat sejak duduk di bangku Sekolah Lanjutan, PGA Neg. 6 tahun Makassar. Dia tertolong dengan tunjangan ID yang diterima setiap bulan. Dia manfaatkan tunjangan itu untuk membeli buku. Sehingga tempat yang paling sering dikunjunginya setiap menerima tunjangan ID dari sekolahnya adalah toko buku. Demikian pula pada Hari Ahad tempat wisatanya adalah toko buku, kalau tidak ada acara rapat organisasi. Beberapa buah toko buku di Makassar kala itu menjadi langganannya seperti Hidayat Book Store, Toko Buku Rakyat, Taufik Book Store, Toko Buku Assagaf, Toko Buku Aloha, Toko Buku/Percetakan Manokwari. Sebelum saat penerimaan tunjangan ID tiba buku-buku yang akan dibeli sudah dilirik-lirik.
Sedih sekali perasaannya manakala ada buku yang ingin sekali dimiliki sementara uang di kantong tidak mencukupi. Pada saat seperti itulah sering meminta dengan sangat kepada penjaga toko buku agar buku yang ingin dibelinya itu disisihkan sebuah sambil berusaha mencari duit untuk dapat menebusnya. Karena karyawan-karyawan toko buku pada umumnya telah mengenalnya sebagi si kutu buku maka tidak keberatan menyisihkan buku yang dimaksud.

Demikianlah halnya setelah tampil menjadi muballigh muda yang cukup favorit, setiap saat nampak di toko buku. Sebagian besar honorarium da’wahnya habis untuk buku.

Satu peristiwa di tahun 1967, ketika bangsa ini baru saja lepas dari kekuasaan tirani Orde Lama. Waktu itu terbit sebuah buku dari seorang tokoh yang selama ini diidolakannya, K.H.M. Isa Anshary. Dalam buku itu sang tokoh itu membahas tentang orde baru: Ciri-ciri orde baru dan orde lama – siapa yang berhak diakatakan orde baru dan siapa pula yang masuk dalam katagori orde lama. Dia ingin sekali membeli buku itu tapi apa daya uang tidak cukup. Tidak henti-hentinya menatap sampul buku itu. Ibarat seorang jejaka yang jatuh cinta kepada seorang gadis. Ingin sekali memilikinya namun apa daya gadisnya tidak mau menyerahkan diri.

Dia memohon dengan sangat kepada penjaga toko buku agar buku Isa Anshary yang stoknya tidak banyak itu disisakan sebuah untuknya sambil diberi kesempatan mencari duit. Dia meninggalkan toko buku itu dengan perasaan yang sangat kesal karena tidak dapat memboyong pulang buku yang sangat diinginkannya. Sambil berjalan dia berfikir dari mana mendapatkan uang untuk membeli buku itu. Disamping itu terbayang kalau penjaga toko buku itu menjual habis. Cover buku yang berwarna kemerah-merahan itu tetap terbayang dipelupuk matanya.

Solusi yang ditemukannya dia segera menemui temannya yang mengatur jadwal ceramah muballigh-muballigh Muhammadiyah. Dimintanya agar diberi kesempatan ceramah hari ini kalau ada jadwal yang lowong. Rekannya yang sangat mengerti siapa Muhsin Kahar, segera menunjukkan tempat ceramah yang semestinya diisi oleh rekannya yang mengatur jadwal itu. Pada hari itu juga seusai ceramah langsung menuju toko buku untuk mengambil buku yang sangat diinginkannya itu dan membayarnya dengan uang hasil cermah yang baru diperolehnya.

Ketika memimpin pesantren di Balikpapan, salah satu yang sangat disyukurinya karena obsesinya untuk membeli semua buku-buku yang diinginkan sudah dapat tersalur. Yayasan Pondok Pesantren Hidayatullah sudah mengalokasikan dana khusus untuk itu. Satu-satunya toko buku yang ada di Balikpapan yakni Toko Buku Pembimbing yang terletak di Kampung Karang Jati, tidak jauh dari Sekretariat Pondok Pesantren Hidayatullah, Karang Bugis, menjadi langganan tetapnya. Pemilik toko buku kecil itu sangat diuntungkan karena disamping rajin membeli buku juga mempromosikan kepada jama’ahnya untuk membeli buku yang baru dibelinya. Sehingga jenis buku yang dibelinya itu sebentar saja ludes. Juga sangat tertolong dengan jama’ah-jama’ahnya yang ada di Pertamina dan di perusahaan-perusahaan asing yang kalau balik ke Jakarta, Bandung, Yogya atau Surabaya menawarkan jasa kepadanya untuk mencatatkan buku-buku yang diperlukan.

Penulis sering diajak menjadi pendamping kalau berkunjung ke Jawa atau ke Sulawesi. Setelah selesai melaksanakan tugas sebagai pimpinan pesantren memberi pengarahan, melakukan peninjauan lokasi, mengadakan dialog – biasanya mencari toko buku untuk membeli buku-buku yang belum dimilikinya. Untuk membeli sekian banyak buku dia rela mengeluarkan uang sampai jutaan rupiah. Itu di tahun 1980-an, pada saat buku yang tebal-tebal masih seharga belasan ribu rupiah. Sehingga pada waktu kembali ke Balikpapan yang biasanya menumpang kapal PELNI, jarang menggunakan pesawat udara, berkardus-kardus buku diboyongnya. Toko buku langganannya bila berada di Jakarta adalah Wali Songo, Gunung Agung dan Tintamas. Di Surabaya ke Toko Buku Sari Agung dan toko buku yang ada di Pumpungan dan toko buku lain.

Sering pihak toko buku seperti Toko Buku Sari Agung bertanya, “Apa buku-buku ini untuk perpustakaan, Pak?”, dijawab, “Apa maksudmu ?”. Pemilik toko buku menjelaskan bahwa, “Kalau untuk perpustakaan diberi korting, Pak”. “O, iya ini memang untuk perpustakaan”. Diskon yang didapatkan dari pembelian ini dimanfaatkan untuk membeli lagi buku-buku. Di atas kapalpun seperti KM. Kambuna dulu ada Toko Buku Sinar Harapan yang terdapat di dek 8 juga tidak luput dari perhatiannya untuk membeli buku-buku yang menarik.

Penulis memperhatikan yang dibeli bukan melulu buku-buku agama tapi termasuk buku-buku manajemen dan yang berbau manajemen. Buku manajemen tulisan Sondang P. Siagian yang tebal itu juga dibeli. Apalagi buku-buku untuk pengembangan diri seperti buku-buku karangan Dale Carnegie, Napoleon Hill, Norman Vincent Peale, Dr David J.Schwartz, Herbert N.Casson, Stephen R.Covey, Gloria Steinem, John Naisbitt, Alvin Toffler, dll. Buku-buku menyangkut jurnalistik dan kewartawanan, ilmu pernapasan dan pijit refleksi juga dibelinya. Buku-buku yang tersusun rapi pada ruang perpustakaannya, bukan hanya sekedar hiasan yang memenuhi rak buku tapi memang dibaca habis.

Setiap hari dia juga membaca tiga buah surat kabar ibu kota: Harian Merdeka ketika masih dipimpin B.M. Diah, Harian KOMPAS, Sinar Harapan yang akhirnya berganti nama menjadi Suara Pembaruan[11]. Ditambah dengan surat kabar lokal, Manuntung kemudian berubah menjadi Kaltim Post dan Suara Kaltim. Majalah mingguan seperti TEMPO, GATRA, EDITOR, FORUM Keadilan, TOPIK, majalah tengah bulanan PANJI MASYARAKAT, Majalah Wanita KARTINI. Termasuk majalah TRUBUS yang banyak berbicara tentang pertanian dan majalah ASRI, yang khusus memuat model-model rumah dan pertamanan, juga tidak luput dari perhatiannya.

Apalagi pada waktu aktif menulis naskah kajian utama di majalah Suara Hidayatullah, gairah membacanya semakin besar. Karena beliau ingin majalah yang diterbitkan oleh Yayasan Pondok Pesantren Hidayatullah itu digandrungi pembaca terutama kalangan generasi muda. Dia membuat tulisan tentang rahasia kehebatan Islam dengan mengambil referensi dari berbagai sumber untuk lebih memudahkan daya tangkap dan pemahaman.

Ini juga yang membuat ceramah-ceramah yang disampaikan selalu aktual dan menyentuh jiwa. Karena disamping dukungan shalat tahajjud, zikir, baca Qur’an, renungan yang sangat aktif dilakukannya juga didukung oleh kuatnya membaca berbagai jenis buku, surat kabar dan majalah. Ditambah dengan mengikuti siaran radio siaran luar negeri yang berbahasa Indonesia seperti BBC London, Voice Of America (Suara Amerika), RASI (Radio Australia Seksi Indonesia) dan RRI sendiri.
Dia sangat terkesan dengan singgungan salah seorang gurunya yang sering dikunjuginya di Pekalongan; yang banyak memberi bimbingan bagaimana cara berceramah yang baik dan menarik, Professor K.H. Abdul Ghaffar Ismail, pendiri dan pengisi tetap Pengajian Malam Selasa (Pemasa) bahwa, “Muballigh yang malas membaca adalah muballigh tai kucing”, artinya muballigh yang kurang bermutu.

[11] Waktu itu baru koran-koran tersebut sebagai koran terbitan ibukota yang masuk ke Balikpapan setiap hari.



Belajar Lewat Masjid

Ayahnya, Kyai Abdul Kahar ketika tidak lagi terlalu aktif di Mesjid Lailatul Qadri senang sekali mengikutkannya ke berbagai mesjid untuk melaksanakan shalat berjama'ah dan mendengarkan ceramah. Baginya mengandung hikmah yang besar. Karena disamping menjadi kebiasaan melaksanakan shalat berjama’ah juga dapat menimba ilmu dari ulama-ulama yang memberi pelajaran setiap ba’da maghrib dan ba’da Subuh di mesjid.
Dia merekam dengan seksama apa-apa yang disampaikan ulama-ulama yang silih berganti tampil. Sering Ayahnya mengajaknya berjalan kaki cukup jauh dari rumahnya ke mesjid raya Makassar dan mesjid-mesjid lain pada waktu menjelang Maghrib dan menjelang Subuh. Senang sekali mendengar ceramah-ceramah di Mesjid Raya Makassar yang dibawakan oleh ulama-ulama kondang yang memang mempunyai jadwal tetap di mesjid yang didirikan oleh K.H. Muchtar Luthfie, ulama dari Sumatera Barat itu yang ditembak oleh KNIL (Belanda) di Makassar dan berkubur di kota ini. Kegiatan itu berlangsung sampai menginjak usia dewasa.

Setelah menyelesaikan pendidikannya di PGA Negeri 6 tahun, dan berhenti kuliah di IAIN dia menekuni pendidikan yang dapat mengantarnya menjadi muballigh yang mahir dan percaya diri pada K.H.Abdul Djabbar Asyiri Pengurus Muhammadiyah tingkat Daerah Makassar, Muhammadiyah Wilayah Sulseslra dan Direktur Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah yang akhirnya mendirkan Pondok Pesantren Darul Arqam Gombara-Makassar yang melatihnya menghafal dan memahami hadits-hadits. Ustadz Abdul Malik Ibrahim, Pengurus Muhammdiyah dan mantan Direktur PGA Negeri Makassar yang memberinya bimbingan bahasa Arab. Dan yang mendorong untuk lebih giat menggali Al-Qur'an adalah Al-Ustadz K.H.Ahmad Marzuki Hasan, Ulama yang masih saudara sepupu dengannya dan Pengurus Wilayah Muhammadiyah Sulselra yang akhirnya mendirikan Pondok Pesantren Darul Istiqamah Maccopa Maros.

Setelah sering terjun ke masyarakat apalagi setelah memimpin pesantren dirasakan sekali manfaat dari kebiasaan selalu ikut Ayahnya shalat berjama’ah dan menimba ilmu pada ulama-ulama.


Belajar Lewat Pergaulan

Dia juga memanfatkan pergaulan dengan orang-orang LSM (Lembaga Swadaya Masyarkat) untuk menimba ilmu. Karena di LSM-LSM itu banyak sekali duduk orang-orang yang berotak brilian dan punya pengalaman luas.

Ustadz Abdullah Said merasa dapat mengembangkan cakrawala berfikirnya dan mendapat banyak masukan yang diperlukan lewat pertemuan-pertemuan yang sarat dengan diskusi itu. Dia juga menarik manfaat lewat perkenalan akrab dengan orang-orang seperti Prof Dr. Emil Salim, Dr. Amien Rais, Dr Adi Sasono, Dr. Erna Witular, Dr. Nafsiah Mboi Walinono, Dr Abbas Muin, dll. Karena orang-orang tersebut telah memiliki nama besar dan punya pengaruh di negeri ini. Santri-santrinya juga merasakan banyak manfaat dari keakrabannya dengan tokoh-tokoh LSM, karena dengan demikian pelatihan-pelatihan dari berbagai LSM sering diadakan di kampus Pondok Pesantren Hidayatullah Gunung Tembak yang diikuti para santri.
Namun kendatipun maksudnya untuk belajar pada tokoh-tokoh yang telah kesohor namanya di negeri ini tapi sering juga dalam pertemuan-pertemuan LSM dia membuat kejutan yang menarik perhatian pers.

Seperti pada acara simposium Walhi (Wahana Lingkungan Hidup) yang diadakan di Sawangan Bogor. Dia melontarkan pendapat yang dimuat Harian Pos Kota pada Hari Jum'at 2 Juni 1989 yang berbunyi, "Pemenang Kalpataru 1984, Abdullah Said, Pimpinan Pondok Pesantren Hidayatullah, Balikpapan, Kalimantan Timur, justru melangkah lebih jauh lagi.

Ia mengajak untuk segera menjadikan LSM sebagai gerakan politik, dalam arti mampu mendominasi Orpol yang ada. Karena menurutnya, satu keputusan politik akan membuyarkan segudang keputusan dan hasil simposium atau seminar seperti yang diadakan Walhi ini. "Saya khawatir, simposium dan pertemuan yang kita adakan ini, jangan-jangan hanyalah sebagai gerakan kompensasi dari ketidak berdayaan kita sendiri," katanya. Ketua Walhi Erna Witular, yang ditemui Pos Kota pada acara makan siang mengatakan bahwa Said memberikan pancingan supaya Walhi mempolitikkan diri. "Gagasannya provokatif. Itu mudah diucapkan, tapi sulit dilaksanakan," kata Erna.


Organisasi Pemuda

Organisasi pemuda yang digeluti dan diasyikinya adalah Pemuda Muhammadiyah. Dia menjadi pengurus organisasi ini dari tingkat cabang di Malimongan Baru Makassar hingga pengurus wilayah Pemuda Muhammadiyah Sulawesi Selatan dan Tenggara (Sulselra) priode 1966-1968. Dalam kepengurusan itu dia duduk sebagai Ketua Biro Da’wah dan Publikasi Bersama M.Arsyad Taman, BA (wakil ketua Biro Da’wah), Andi Amin DM (anggaota Biro Publikasi).

Ketua Pemuda Muhammadiyah Wilayah Sulselra priode itu adalah Drs. Fachruddin Ambo Enre (Ketua Umum), Dosen Sastra Universitas Hasanuddin Makassar dan sebagai BPH (semacam Ketua Biro Kantor Gubernur). Pengurus Pemuda Muhammadiyah Wilayah yang lain adalah Drs. Muhammadiyah (Ketua I), Drs. Marwan Aidid (Ketua II) , M.Jasin Bachtiar, BA (Ketua III), Drs. Djuhadi Massagoni (Sekretaris Umum), M.Ali Ghazali (Sekretaris I), Abdul Hamid Abubakar,BA (Sekretaris II). Sukardhi (Bendahara), Muh. Djafar Tinri (Wakil Bendahara).

Di tahun 1967 Pemuda Muhamamdiyah Wilayah Sulselra mengutusnya mengikuti pengkaderan instruktur tingkat nasional di Jogjakarta bersama Drs. Jazman (cucu pendiri Muhamamdiyah, K.H.Achmad Dahlan) yang dipimpin Kyai R.H. Hadjied. Dia sempat masuk dalam tim penggodokan metode pengkaderan Pemuda Muhammadiyah.

Pada priode itulah dia manfaatkan untuk keliling Sulselra mengadakan pengkaderan pemuda Muhammadiyah. Saat itulah namanya mulai tenar di Seluruh Sulawesi Selatan dan Tenggara.

Pada masa pengganyangan G30S/PKI dia menggabung ke dalam organisasi pemuda-pelajar yang disebut Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia (KAPPI), Sulawesi Selatan yang dipimpin oleh Rafiuddin Hamarung, SH yang selalu turun di jalan melakukan demonstrasi bersama tokoh-tokoh pemuda-pelajar Sulawesi Selatan. Aktif juga latihan militer ketika terbentuk KOKAM (Komando Keamanan Angkatan Muda Muhammadiyah) dan turut meronda untuk menjaga ulama-ulama dan tokoh-tokoh Islam dari gangguan sisa-sisa PKI dan antek-anteknya.

Dia juga duduk dalam kepengurusan organisasi yang bersifat kedaerahan yakni Himpunan Pemuda Pelajar dan Muhasiswa Sinjai (HIPPMAS).


[14] Sekarang menjadi Anggota DPD Wakil dari Propinsi Sulawesi Tenggara.
[15] Putra Jeneponto Sulsel yang pernah menjadi BPH di Kantor Gubernur Sulsel ketika Achmad Lamo menjadi Gubernur dan pernah menjadi Sekjen PBSI (Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonsia) pada waktu Try Sutrisno menjadi Ketua.



Organisasi Politik

Ketika Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) terbentuk pada 20 Februari 1968 berdasarkan Keppres No 70/1968,[16] Partai baru ini didukung oleh organisasi-organisasi Muhamamdiyah, Jami’atul Wshiliyah, Gabungan Serikat Buruh Islam Indonesia (GASBIINDO), Persatuan Islam (Persis), Nahdlatul Wathan, Mathla’ul Anwar, Serikat Nelayan Islam Indonesia (SNII), Kongres Buruh Islam Merdeka (KBIM), Persatuan Umat Islam (PUI), Al-Ittihadiyah, Persatuan Organisasi Buruh Islam se Indonesia (PORBISI), Persatuan Guru Agama Islam Republik Indonesia (PGAIRI), Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI), Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), Al-Irsyad Al-Islamiyah dan Wanita Islam.

Parmusi ini diinginkan sebagai penjelmaan Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) yang dibubarkan Presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1960, melalui Keppres No 200/1960. Ustadz Muhsin Kahar tertarik melibatkan diri menjadi pengurus partai ini di Kota Makassar. Harapan dibalik itu agar cita-cita Masyumi dapat diujudkan.
Selama aktif dalam partai sang Ustadz pengagum tokoh-tokoh Masyumi ini berharap agar tokoh-tokoh seperti M.Natsir, Syafruddin Prawiranegara, Mr.Mohammad Rum, Kasman Singodimejo dan lain-lain dapat duduk menjadi pengurus partai sebgaimana informasi yang tersebar dikalangan keluarga besar Bulan Bintang. Waktu terbentuk partai ini diketuai oleh Djarnawi Hadikusumo dan Drs. Lukman Harun sebagai Sekjennya.

Ketika tiba masa kongres I Parmusi yang diadakan pada 1 s/d 8 November 1968 di kota dingin Malang, Ustadz Muhsin Kahar juga ikut menjadi peserta. Keluarga besar Bulan Bintang yang hadir di kongres itu sangat optimis sampai memasang spanduk yang bertuliskan : Selamat Datang Keluarga Bulan Bintang di Kongres I Parmusi (Kongres ke-7 Masyumi). Dalam kongres yang berlangsung di kota dingin Malang itu memutuskan Mr. Mohammad Roem sebagai Presiden Partai. Namun rupanya tokoh-tokoh Masyumi masih dipandang momok oleh pemerintahan Suharto, sebagaimana halnya pemerintahan Soekarno. Maka keputusan kongres itupun dieleminir oleh Suharto atas desakan Ali Murtopo dkk yang anti Islam itu.

Sejak itu Ustadz Muhsin Kahar sangat kecewa melihat sikap pemerintah. Apalagi konon Joni (Jailani) Naro yang berada dalam jajaran ketua adalah orangnya pemerintah yang disusupkan. Padahal semestinya dengan berakhirnya rezim orde lama, berkahir pulalah campur tangan pemerintah yang terlalu jauh ke dalam tubuh sebuah organisasi.

Dia tidak lagi meneruskan kegiatannya dalam partai. Pikirnya, tidak mungkin cita-cita Masyumi untuk mengeksiskan Islam di gelanggang politik dan pemerintahan dapat terujud kalau bukan orang-orang yang mengerti persis cita-cita itu yang memperjuangkannya.
Diapun kembali menggeluti dunianya semula secara konsentrasi penuh yakni dunia da’wah. “Ini mungkin hikmahnya saya keluar dari partai agar dapat lebih konsentrasi menggeluti da’wah”. Katanya pada suatu waktu.

Kendatipun keterlibatannya dalam partai hanya singkat waktunya namun tidak sedikit pelajaran ilmu politik praktis yang diperoleh dari tokoh-tokoh yang lidahnya sudah lama mengenyam asam garamnya politik seperti Abdul Wahab Radjab Daeng Taba, putra kelahiran Limbung-Gowa, 27 Agustus 1928, mantan sekretaris Masyumi Sulawesi Selatan, mantan wakil dari Prof.

Kasman Singodimejo dalam Majlis Hikmah Muhammadiyah Pusat, mantan Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulselra dan mantan Ketua Partai Muslimin Indonesia Daerah Sulawesi Selatan. Tokoh yang digelar oleh Mayor Jenderal Solichin GP, Panglima Kodam XIV Hasanuddin waktu itu sebagai Napoleon Boneparte-nya Sulawesi Selatan karena perawakannya yang mirip tokoh Perancis kelahiran Italia itu dan kelihaiannya dalam hal strategi. Juga dari Ismail Napu, tokoh kelahiran Gorontalo, 12 April 1914, Ustadz M.Arsyad Pana yang juga mantan Masyumi dan termasuk dedengkot politik dalam Partai Muslimin Indonesia di Sulsel.


[16] Dikutip dari buku Adian Husaini tentang Habibie.



Organisasi Pelajar

Kekeranjingannya berorganisasi tidak tanggung-tanggung. Dia tidak ingin hanya namanya yang tercantum dalam sturktur organisasi tanpa terjun dan berkutat didalamnya. Pada setiap organisasi yang dimasukinya dia selalu memegang jabatan yang dia minati yakni Bahagian Da’wah dan Pengkaderan, sehingga mendorongnya untuk sibuk. Dalam setiap pertemuan selalu saja ada ide dan gagasan brilian yang dilontarkan. Sehingga manakala ada pertemuan dan dirinya tidak hadir, peserta pertemuan pasti mencarinya karena pertemuan terasa hambar tanpa dia.

Ketika duduk dibangku PGA Negeri 6 tahun Makassar, dia memilih organsasi pelajar PII (Pelajar Islam Indonesia ) sebagai wadah tempat berkiprah. Dia duduk sebagai pengurus ranting disekolahnya dan seterusnya ke level wilayah. Organisasi yang dimasukinya ini dikenal sebagai organisasi pelajar paling militan dan mati-matian menentang Partai Komunis Indonesia (PKI). Padahal PKI waktu itu menguasai pemerintahan. Sehingga organisasinya itu selalu menjadi sasaran tembak partai yang tengah merajut hegemoni politik untuk berkuasa itu.
Ini yang membuat dia semakin merasa mantap berkiprah di organisasi ini. Suatu waktu diawal tahun 1965 ketika seluruh pengurus PII se-KBM (Kota Besar Makassar) mengadakan training bertempat di Perguruan Islam Datumuseng[12] penulis dan Ustadz Muhsin Kahar termasuk peserta training itu. Ketika salah satu tokoh PII Andi Baso Amir (adik kandung Jenderal M. Jusuf Amir) memberi ceramah tiba-tiba tempat training dihujani batu. Yang melakukan tidak lain adalah anggota-anggota Pemuda Rakyat (organisasi pemudanya PKI) dan CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia –organisasi mahasiswa milik PKI).

Andi Baso Amier yang dikenal sebagai sastrawan dan pembicara vokal berkata, “Biarkan suara itu berbunyi dengan suaranya sendiri, kita tak usah gentar”. Itu menunjukkan betapa seru perseteruan PII dengan PKI . Anggota PII yang bertugas sebagai keamanan sudah siap-siaga menghadapi pengganggu itu. Kejadian yang serupa dengan ini sering sekali terjadi hampir setiap ada pertemuan yang diadakan PII dan HMI. Sering juga ada coretan di tembok-tembok yang dibuat oleh mereka sendiri yang berbunyi; Bubarkan Pemuda Rakyat dan CGMI. Apalagi saat menjelang terjadinya Gerakan Tiga Puluh September (G30S)[13].

PII Cabang Makassar waktu itu diketuai oleh Kamal DP, seorang anak kelahiran Pammana Poso yang cukup cerdas. Saudara-saudaranya yang lain disergap oleh parpol-parpol seperti M.Noor DP menjadi anggota Masyumi dan Karim DP duduk di CC-PKI bahkan pernah menjadi Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI-Pusat), Pemimpin Redaksi Harian Suara Rakjat, milik PKI, sebelum PWI dikendalikan oleh H. Mahbub Djunaidi, Pemimpin Redaksi Harian Duta Masyarakat milik Nahdatul Ulama, koran terbesar waktu itu.

Muhsin Kahar tertarik memasuki organisasi ini karena termasuk organisasi yang menjadi lambang perlawanan terhadap kekuasaan yang dhalim. Organisasi ini mengharamkan nasakom (Nasional Agama dan Komunis) suatu perandauan yang dilakukan oleh rezim Soekarno dibawah bayang-bayang PKI, organisasi politik yang sering dipelesetkan oleh kader-kader PII sebagai singkatan dari Partai Kafir Indonesia.

Kemilitanan PII ini dibuktikan dimana satu tahun sebelum terjadi Gerakan 30 September/PKI (G30S/PKI), pada 1964, PII sudah mengusulkan kepada pemerintah agar PKI dibubarkan dalam pertemuan yang disebut Peristiwa Kanigoro. Suatu usul yang diyakini tidak mungkin diterima. Namun untuk menunjukkan bahwa PII sangat membenci partai yang telah memenjarakan penegak-penegak kebenaran seperti Dr. Mohammad Natsir, Prof. Dr. Hamka, K.H.Isa Anshary, Mr. Mohammad Roem, Mr. Kasman Singodimejo, Mr. Syafruddin Prawiranegara, dll, dan menghabisi beberapa orang ulama – maka hal itu dilakukan. Lima hari saja sesudah terjadi peristiwa berdarah yang dilakukan PKI untuk mengambil alih secara mutlak pemerintahan di negeri ini ( 4 Oktober 1965), PII bersama HMI, Pemuda Muhammadiyah dan Gerakan Pemuda Anshor meminta dengan keras agar PKI segera dibubarkan. Empat hari sesudah itu (8 Oktober 1965) PII dibawah pimpinan Abdul Wahid Kadungga (putra Palopo yang duduk di Pengurus Besar PII priode 1964-1968) memimpin gerakan pembakaran kantor CC-PKI (Central Comite-Partai Komunis Indonesia) bersama Hussein Umar Sastranegara, Aziz Ati,dll.

Keterlibatannya di organisasi ini dapat dirasakan hikmahnya karena telah membentuk jiwanya menjadi militan dan cekatan berorganisasi. Juga dapat berkenalan dekat tokoh-tokoh penggerak generasi muda di daerahnya seperti Zoubair Bakry, Yamin Amna, Tanri Abeng, Djamaluddin Latief, Aziz Aty, dll. Dan tokoh-tokoh berlevel nasional seperti Hussein Umar Sastranegara (PII Pusat), Utomo Dananjaya, Husni Thamrin, Ahmad Djuwaeni, dll.

[12] Perguruan Islam yang cukup terkenal sejak tahun 50-an, yang telah memberi sibghah keislaman kepada Wapres RI, Drs.H.M. Jusuf Kalla.
[13] Gerakan yang dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 30 September 1965 yang membunuh secara biadab Jenderal Achmad Yani.dkk kemudian memasukkan kedalam lubang sempit di daerah yang disebut Lubang Buaya.




Bangkit di Tengah Kegagalan

Namun yang terjadi tiba-tiba rencana belajar di Cina itu dibatalkan, karena ulama-ulama yang tadinya telah bersedia berangkat oleh pengurus Muhammadiyah dilarang. Rupanya tiba-tiba muncul keraguan dan kecurigaan bahwa apa yang dinyatakan oleh anak-anak muda itu kurang meyakinkan. Dikhawatirkan kalau ulama-ulama itu sudah berada di tempat yang dimaksud lalu dibiarkan tidak ada yang urus. Karena biasanya anak-anak muda itu hanya peryataannya yang lantang tapi kerjanya tidak sebagaimana pernyataannya.

Apa yang dikhawatirkan orang-orang tua itu tentu saja didukung oleh alasan yang kuat terutama kalau ditinjau dari kondisi keorangtuaan. Apalagi belum ada bukti yang meyakinkan yang pernah diperlihatkan sebelumnya kecuali keyakinan bahwa Muhsin Kahar adalah seorang pekerja keras yang selalu penuh kesungguhan menangani amanah yang diberikan kepadanya .[18] Namun yang disesalkan kenapa rencana itu disepakati, setelah cukup lama dibicarakan bahkan telah diperintahkan untuk bergerak memulai pekerjaan itu lalu kemudian dibatalkan. Tentu saja Muhsin Kahar dan kawan-kawan menjadi kecewa dengan keputusan seperti itu. Namun mau diapakan lagi. Untuk menjaga akhlak tidak mungkin mencak-mencak didepan orang tua sambil menuding sebagai orang yang tidak tetap pendirian. Karena mungkin ada benarnya yang dikemukakan orang-orang tua di Muhammadiyah itu tentang keterbatasan pandangan dan tinjauan anak-anak muda.
Untung Muhsin Kahar bersama kawan-kawan tidak memperturutkan kedongkolannya sehingga membiarkan rencananya itu berantakan. Dia segera bertindak cepat dengan memutuskan bahwa pendidikan ini tidak boleh macet begitu saja, harus segera dicarikan jalan keluar. Kalau gagal di Cina diupayakan diadakan di kota Makassar saja. Apalagi mengingat peserta yang berasal dari berbagai daerah Sulselra sebanyak 40 orang sudah berkumpul di Makassar. Memang orang disuruh menuntut ilmu sampai ke negeri Cina tapi kalau tidak mampu ya di Makassar saja. Itu bahasa guyonnya.

Diambillah keputusan ditempatkan di Cabang Malimongan Baru (terkenal dengan sebutan Mimbar) dan ditanggung oleh cabang Muhammadiyah yang dipimpin Muhsin Kahar itu. Tentu keputusan ini mengandung resiko yang cukup berat, mengingat orang sebanyak itu harus ditanggung konsumsinya, akomodasinya dan tempat belajarnya serta tenaga pengajar oleh sebuah cabang seperti cabang MIMBAR yang tidak termasuk cabang kaya. Tapi karena ini usaha mulia pengurus cabang berhasil diyakinkan oleh ketuanya bahwa, “Kalau dengan penuh kesungguhan kita mengurus pendidikan ini Allah SWT pasti menolong kita. Yang penting jangan ada diantara kita yang tinggal diam. Kita semua harus tampil dengan mujahadah tinggi untuk menyukseskannya”.

Sebenarnya Muhsin Kahar ingin mengelola pendidikan yang direncanakan di Cina itu dengan melakukan langkah awal dengan memberangkatkan ke-40 orang anak-anak muda yang memang sudah siap untuk membuka perkampungan dengan membuat gubuk-gubuk sambil melibatkan masyarakat setempat. Kemudian menyusul Ustadz-Ustadz dan pembimbing-pembimbingnya. Sehingga sambil memulai pembangunan juga pelajaran dapat jalan berbarengan. Dengan demikian akan mempercepat pembangunan yang permanen. Yang meyakinkan karena tokoh-tokoh Muhammadiyah dan orang-orang berduit telah memberi pengakuan untuk membantu. Tapi itu tidak perlu lagi disesali.

Dia mencoba menghibur diri dengan mengingat kejadian yang juga pernah dialami K.H.Mas Mansur sendiri yang bobotnya jauh lebih tinggi dari dirinya, tapi tokh gagal juga dalam mewujudkan cita-cita membuat perkampungan pengakderan itu.

Dalam Kongres Muhammadiyah ke-29 di Jogjakarta tahun 1941 dalam kedudukannya sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, K.H.Mas Mansur mengajukan pertanyaan setelah menceritakan panjang lebar tentang bagaimana lembaga pendidikan yang disaksikan di tengah-tengah Benua Afrika itu, “Mungkinkah Muhammadiyah membuat lembaga pendidikan seperti itu ?”. Ternyata yang disetujui waktu itu bukan seperti apa yang diusulkan K.H.Mas Mansur tapi dalam bentuk Perguruan Tinggi Islam (Universitas Muhammadiyah ?) sesuai usul yang diajukan Pak Mulyadi Joyomartono (Konsul Muhammadiyah Surakarta) dengan alasan ini sudah mewakili apa yang diinginkan K.H. Mas Mansur. Padahal entitas Perguruan Tinggi Islam yang akan dibangun itu berbeda sekali dengan apa yang diinginkan K.H.Mas Mansur. Terutama dalam hubungannya dengan pembentukan kader.

Muhsin Kahar juga akhirnya menyadari bahwa memang tidak mudah mewujudkan rencana ini. Mungkin keadaannya berbeda. Apa yang ada di Afrika itu adalah milik keluarga kaya yang menyumbangkan semua hartanya untuk perjuangan. Bukan meminta sumbangan kepada siapa-siapa. Dan kayaknya dizaman sekarang belum lahir orang seperti itu. Tapi dia tidak putus asa. Entah kapan dan entah dimana nanti rencana yang sudah tergambar dalam benaknya itu dapat diwujudkan.

Berjalanlah pendidikan muballigh itu dengan baik tanpa meminta uang sepeserpun dari peserta. Dalam pelaksanaan pendidikan ini yang berlangsung selama enam bulan ( akhir 1968 s/d awal 1969). Panitia Inti yang terdiri dari Ustadz Muchsin Kahar sendiri (ketua), Arsyad Taman, BA teman setianya sebagai sekretaris, Aminuddin Djafar teman akrabnya sebagai bendahara. Ketiga tenaga inti sebagai tulang punggung kepanitiaan cukup kerja keras dalam mencari dana untuk kelangsungan pendidikan ini. Muhsin Kahar dan panitia yang lain keliling Sulawesi Selatan menghubungi Bupati-Bupati yang daerahnya termasuk penghasil beras seperti Sidrap, Wajo, Pinrang, Pangkep, tidak ketinggalan Daerah Maros (khususnya Camba).

Dalam pelaksanaan pendidikan ini tidak boleh dilupakan jasa orang-orang seperti: Lukmanul Hakim (kakak kandung Ustadz Muchsin Kahar, pengurus Muhammadiyah Cabang Malimongan Baru), Ibu Shafiah, Ketua Aisyiyah Cabang Malimongan Baru bersama suaminya, Nasrun. Ni’mah Said (Ketua Nasyiyatul Aisyiyah Cabang Malimongan Baru, adik kandung Drs.H. Amir Said), Andi Nurdin Rahman, SH (Ketua Pemuda Muhammadiyah Malimongan Baru) Drs Andi Harun (Pemuda Muhammadiyah Malimongan Baru), Andi Ahmad Rahman (Pengurus Muhammadiyah Malimongan Baru) bersama istri Andi Juhriyah, Aminuddin Rukka (Pemuda Muhammadiyah), Hafidz Noor (Pengurus PII Wilayah Sulsel), sekeluarga , Petta Timang sekeluarga, Muhammad Thamrin Latief, Marzuki Latief, Sirajuddin (yang sering disebut Sirajuddin Dongga),dll dalam penyelenggaraan pendidikan ini.

Satu-satunya pengajar yang aktif disamping Ustadz Muchsin Kahar sendiri adalah K.H.Ahmad Marzuki Hasan. Saat itulah penulis, sebagai salah seorang peserta untuk pertama kalinya menyaksikan seorang yang mampu mengajarkan tafsir Al-Qur'an dengan tidak membaca Al-Qur'an karena memang Kyai H.Ahmad Marzuki Hasan menghafal Al- Qur'an 30 juz dengan arti dan tafsirnya.

Hasil dari pendidikan ini cukup dapat dibanggakan. Telah tersebar di seluruh Sulselra, melaksanakan tugas berda’wah dan membina umat , mengadakan training-training da’wah. Dapat disebutkan beberapa orang: Muh. Sa’id Abdul Samad, Abdul Jalil, Faisal (Pare-Pare) , Abdul Hamid DM, Amiruddin (Sinjai), Muh. Saleh Noor, Aminuddin (Bantaeng), Noor Asry (Jeneponto), Abd Ghaffar Gunturan Gati , Usman Effendi, Muhammad Sidin (Enrekang), Abdullah Syakur (Tanah Toraja), Aminuddin (Bone), Lasykar Dambang (Pinrang), Mushalli (Sidenreng-Rappang), Ibnu Hajar (Makassar Manshur Salbu (Gowa).

Kegiatan yang sama juga pernah dilakukannya di Pomalaa-Kolaka, Sulawesi Tenggara. Selama satu bulan lamanya memberi kursus terhadap menejer-menejer dan karyawan PT. Aneka Tambang (Antam), Unit Petambangan Nikel. Hasilnya cukup memadai. Banyak yang setelah selesai mengikuti kursus muballigh ini mempu berkhutbah atau ceramah-ceramah.

Diantaranya Ismail Tangka, Amir Djamaluddin, Ali Kaplale, Ir Yudi, Muhammad Noor Djamil. Sehingga kesulitan muballigh untuk mengisi khutbah dan ceramah di mesjid milik perusahaan yang sebelumnya sangat dirasakan, sudah mulai dapat tertanggulangi. Tidak lagi harus selalu mendatangkan muballigh dari Jakarta , Makassar, Kendari atau dari Kolaka. Dalam waktu-waktu biasa dianggap muballigh lokal sudah cukup.


[18] Selama aktif diorganisasi Muhammadiyah belum pernah menampik tugas dan belum pernah menuntut dana sebelum melaksanakan tugas.

Menambah Ilmu di Jawa

Usai pendidikan muballigh di Makassar Muhsin Kahar berangkat ke Surabaya dengan mengajaka Usman Palese untuk seterusnya ingin mengikuti pendidikan di Pondok Modern Gontor. Memang keduanya sempat mendaftar dan ikut belajar tapi hanya seminggu lalu pindah ke PERSIS Bangil. Di Pesantren Bangil juga hanya 3 bulan. Di Pesantren yang dipimpin oleh Ustadz Abdul Qadir Hassan ini, tidak banyak belajar karena Ustadz Mansyur Hassan ( adik kandung Ustadz Abdul Qadir Hassan, putera Ustadz Ahmad Hassan), senang mengajak diskusi bahkan selalu ditugaskan membawakan khutbah Jum’at dan ceramah-ceramah di Mesjid Persis.

Selama di Pesantren Bangil Ustadz Muhsin Kahar banyak di bantu oleh sepupunya di Surabaya, Jaksa Arsyad Hasan, SH (mantan kepala Kejaksaan Negeri di beberapa kota Jawa Timur, seperti Nganjuk, Bangkalan, dll, terakhir diangkat menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi di NTB tetapi minta pensiun dini). Dia sangat senang jika berada di tempat saudaranya ini karena Puang Aresya, demikian panggilan akrabnya dikalangan keluarga, senang sekali berdiskusi masalah hukum dan politik dan juga hal-hal yang menyentuh agama. Disamping itu kemanakan-kemanakannya di tempat itu, anak Pak Arsyad: Makmun, Bustamin, Sahrah, Nasrah, Halda, Hurlina semuanya selalu bermanja-manja kepadanya.
Akhirnya pesantren yang banyak menekuni masalah fikhi ini ditinggalkan dan menuju Jakarta. Di Jakarta bertempat tinggal di Kali Baru, Tanjung Periok. Ditempat yang banyak dihuni oleh orang Bugis ini bersama-sama Ustadz As'ad El-Hafidy mengadakan kursus muballigh melibatkan tokoh-tokoh Islam yang ada di Kali Baru seperti Pak Ramli Ya’kub (paman Ustadz Muhsin Kahar), Nurdin Djafar (sepupu) dan Achmad Dahlan Abdullah (kemanakan) untuk menjadi pengurus. Banyak anak-anak remaja ataupun yang sudah tergolong dewasa jama’ah Mesjid Nurul Jihad Kali Baru mengikuti kursus ini. Diantaranya Marhumah Hasyim (kemanakan), Nurhilaliyah Nurdin (kemanakan), dll. Cukup berhasil kursus muballigh itu menelorkan muballigh dan muballighat muda.

Ustadz Muhsin Kahar kembali lagi ke Makassar, kota Anging Mammiri yang selalu dirindukan. Kembali menggabung dengan kegiatan Ustadz Ahmad Marzuki Hasan di Kompleks Pendidikan Muhammadiyah, samping Mesjid Raya Makassar. Mulailah diprogram pengkaderan yang lebih intens untuk melibatkan sejumlah anak-anak binaan Ustadz Ahmad Marzuki Hasan dalam upaya pemberantasan kemaksiatan yang tengah marak di kota Makassar dan sekitaranya. Yang paling mencolok daya rusaknya waktu itu adalah penjudian dalam bentuk lotere.

Pengkaderan yang dimaksudkan ini diselenggarakan di Maros (30 Km sebelah utara Makassar) dengan melibatkan puluhan anak-anak muda. Walaupun sangat singkat waktunya, hanya seminggu (1-8 Agustus 1969) tapi frekuensi penggemblengannya dilakukan siang dan malam. Instrukturnya disamping Ustadz Muhsin Kahar sendiri juga Kyai Ahmad Marzuki Hasan, Drs.H.Mahyuddin Thaha[19].

Dalam penyelenggaraan kursus ini sulit dilupakan jasa-jasa dari orang-orang seperti Bapak Usman Ali (Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Maros), H. Abdul Latif Daeng Mangngatta (pedagang kain dan Pengurus Muhammdiyah), Abdurrasyid Tata (Kepala Desa Aliritengngae, Maros) Burhanuddin Hamid (Panitera Pengadilan Negeri Maros), Drs. Mustafa Rauf (Pegawai Kantor Gubernur Sulsel), Zaenal Abidin (pemuda Muhammadiyah), dan lain-lain. Peserta diarahkan untuk dapat melaksanakan kewajiban amar ma’ruf dan nahyi munkar sebagaimana mestinya. Ujung-ujungnya adalah membakar semangat anak-anak muda yang tengah dilanda puber aqidah itu untuk memberantas penjudian yang tengah marak di Makassar dan sekitarnya. Dalam penutupan acara itu peserta menyanyikan lagu Panggilan Jihad, yang lagi tenar waktu itu.


[19] Mantan Ketua Biro Kader PB.PII Pusat, priode Ahmad Djuwaini.


Mengganyang Judi

Penjudian dalam bentuk lotre yang dinamakan lotto, singkatan dari lotre totalisator ini, sangat besar daya rusaknya kepada masyarakat. “Kalau penjudian gaya baru ini dibiarkan berlanjut, masyarakat akan mengalami kehancuran yang sulit dibayangkan. Karena disamping hartanya akan habis ditelan judi, juga moralnya mengalami degradasi yang luar biasa. Mengapa tidak? Berbarengan hadirnya judi dalam bentuk lotre ini, muncul pula peramal-peramal dadakan diseluruh sudut-sudut kota yang untaian-untaian kalimatnya dikutip dari mimpi semalam kemudian dituang dalam bentuk tulisan lalu penjudi memberi tafsir terhadap mimpi itu.

Hasil tafsir itulah dijadikan pegangan untuk memenangkan undiannya setiap malam dengan terlebih dahulu menebak salah satu angka atau lebih dari 49 angka. Tokoh peramal waktu itu seorang haji bernama Haji Sulaimana. Ini menyeret masyarakat kecil yang ingin segera merubah nasib dengan instan ke lembah kesesatan”. Demikian sering diungkapkan Ustadz Muhsin Kahar dan muballigh-muballigh di Makassar pada umumnya kala itu.
Dalam salah satu khutbahnya yang disampaikan pada hari Jum’at, 14 Februari 1969 di mesjid Nurul Jama’ah, Jalan Lamuru, Bontoala-Makassar menyatakan, “Negara kita sekarang ini sudah sangat rusak. Karena masyarakat tidak lagi memperhatikan kewajiban amar ma’ruf nahyi munkar. Padahal ini juga kewajiban mutlak, sama halnya dengan kewajiban shalat, kewajiban puasa Ramadhan, kewajiban zakat. Akibatnya, segala bentuk kemaksiatan dan pelanggaran-pelanggaran agama berjalan mulus. Untuk itu masyarakat perlu digembleng terus menerus untuk berani menyatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah. Karena orang yang terlibat pelanggaran, seperti menjudi, itu berdosa karena perbuatannya. Tapi kita juga berdosa kerena turut menyaksikan perbuatan itu lalu tidak menegur atau mencegahnya.

Akhirnya tibalah pada titik puncak panasnya hati pemuda-pemuda Islam di Makassar, seperti panasnya kota Anging Mammiri waktu itu, ingin menghanguskan segala bentuk kemaksiatan, terutama judi. Mereka tidak lagi dibayangi rasa takut terhadap resiko, walaupun penjudian dalam bentuk lotre ini dikordinasi oleh pemerintah kota dibawah kekuasaan walikotanya yang cukup populer dan gigih membangun Kota Makassar dan melakukan peruabahan-perubahan, Muhammad DaEng Patompo. Otomatis aparat keamanan berada di belakangnya.

Pertemuan perencanaan pengganyangan ini diadakan di lantai tiga menara Ta’mirul Masajid, mesjid milik Mihammadiyah Rabu (malam), 27 Agustus 1969, diarahkan langsung oleh Ustadz Muhsin Kahar dan H.Mahyuddin Thaha Dibuka dengan pembacaan Al-Qur’an oleh Ustadz M.Arsyad Palantei.

Terjadilah peristiwa pengganyangan judi itu dengan modal kader-kader yang selesai digembleng di Maros, kemudian melibatkan pemuda-pemuda Muhammadiyah di Makassar. Pelaksanaannya jatuh pada Kamis (malam), 28 Agustus 1969. Sebelumnya pada Kamis pagi ditugaskan Ustadz Muhsin Kahar seorang kader mengantar secarik kertas untuk menyampaikan kepada beberapa pimpinan Pemuda Muhammadiyah tentang kepastian waktu pelaksanaan pengganyangan itu.

Peristiwa itu bertepatan dengan berlangsungnya Muktamar PII (Pelajar Islam Indonesia) yang ke- 12 di Makassar. Maksudnya Ustadz Muhsin Kahar ingin melibatkan peserta Muktamar PII namun tidak berhasil karena ketika Muhammad Asad Kahar (adik kandung Muhsin Kahar) mencoba mengkordinir anak buahnya yakni PII dari Labbakang- Pangkep, M.Zoubair Bakry (Ketua Pimpinan Wilayah PII Sulsel) langsung mencegatnya. M.Zoubair Bakry khawatir kalau-kalau nantinya tokoh-tokoh yang tengah hadir di Makassar waktu itu yang notabene adalah mantan orang-orang partai Masyumi yang telah dikubur pemerintah seperti Prof. K.H. Abdul Ghaffar Ismail ( muballigh kondang dan ulama besar, yang terkenal dengan Pengajian Malam Selasa-nya yang sudah berlangsung selama setengah abad di Pekalongan), Prawoto Mangkusasmito (mantan Ketua Masyumi dan mantan Wakil Perdana Menteri pada kabinet Wilopo 1952-1953), EZ. Muttaqin (Ketua GPII-Gerakan Pemuda Islam Indonesia) – dikait-kaitkan dengan peristiwa pengganyangan itu.

Kendatipun tidak terlaksana sebagaimana yang diinginkan; karena tidak semua pemuda yang mendapat instruksi melaksanakan pengganyangan itu. Ada yang dicegat karena sempat bocor kepada orang-orang tua yang tentu saja banyak perhitungan. Hanya sebagian kecil yang tetap meneruskan niatnya, yakni penghuni asrama Muhammadiyah Jalan Bandang dan anak-anak disekitar Jalan Andalas, Jalan Bandang, Jalan Diponegoro. Namun hasilnya cukup memadai. Berhasil mengobrak abrik tempat penjualan kupon dan mencederai sebagian penjualnya yang terdiri dari orang-orang Cina. Tapi yang lebih penting Lotto yang sangat merusak terutama masyarakat kecil diberhentikan oleh pemerintah.

Seusai pengganyangan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulselra, K.H.Muhammad Aqib dipanggil menghadap oleh Penanggung Jawab Keamanan di Kota Besar Makassar untuk mempertanggung jawabkan perbuatan itu yang menurut dugaan digerakkan oleh Muhammadiyah karena terbukti banyak sekali anak-anak Muhammadiyah yang terlibat. Pak Kyai membantah dengan alasan, “Ini bukan gerakan Muhammadiyah, kalau Muhammadiyah yang begerak tidak begini bentuknya. Muhammadiyah adalah organisasi massa yang besar, banyak sekali anggotanya. Makassar ini akan tenggelam kalau Muhammadiyah yang bergerak. Yang benar adalah gerakan ini dilakukan oleh anak-anak muda yang sangat jengkel melihat maraknya perjudian. Hanya mungkin banyak anak-anak Muhammadiyah yang terlibat didalamnya. Makanya sebelum Muhammadiyah bergerak, hentikanlah cepat perjudian ini”.

Peristiwa yang menghebohkan Sulsel itu membuat ruang tahanan Kodim 1408 Makassar penuh sesak. Banyak sekali anggota Pemuda Muhammadiyah yang ditahan. Bahkan beberapa tokoh seperti Kyai Ustadz Ahmad Marzuki Hasan, K.H.Fathul Mu’in Daeng Maggading , Ustadz M.Arief Marzuki dan ayahanda Ustadz Muhsin Kahar sendiri, Kyai Abdul Kahar.

Bahkan seterusnya ada yang dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan dan dipengadilankan seperti: M.Thahir Fatwa (guru SD Muhammadiyah asal Bulukumba), M.Munzir Rowa (guru SD Muhammadiyah asal Bone), M.Jalil Thahir (aktivis Pemuda Muhammadiyah asal Sidrap), Abdurrahman (pemuda Muhammadiyah, asal Sinjai).

Informasi dari penjara yang disampaikan Ustadz Abdul Jalil Thahir, Muhsin Kahar harus meneruskan perjuangan, jangan sampai menyerahkan diri. Kami di penjara insya Allah akan bersabar bagaimanpun siksaan yang kami rasakan. Kami anggap sebagai lanjutan pengkaderan.


Di Cina dan Syanggit

Sejak terjadinya Gerakan 30 September / PKI tahun 1965 tidak pernah lagi lepas dari benaknya bagaimana melanjutkan pengkaderan dengan cara yang lebih matang. Dia sangat mensyukuri sistem pengkaderan yang dilakukan oleh PII, HMI, Pemuda Muhammadiyah, GP-Anshor dan pelajar-pelajar,pemuda-pemudi, mahasiswa-mahasiswi Islam yang lain. Karena tidak dapat disangkal bahwa dengan adanya pengkaderan-pengkaderan yang walaupun berjalan apa adanya, ada yang menjadi garda dan ujung tombak pengganyangan terhadap organisasi kebathilan yang ingin memadamkan cahaya Islam itu.

Namun ke depan, pengkaderan harus diprogram lebih intensif untuk menelorkan kader-kader yang lebih mumpuni dan lebih konsisten didalam memperjuangkan dan mempertahankan nilai-nilai Islam. Muhsin Kahar menganggap bahwa Gerakan Komunis yang berhasil ditumbangkan itu hanya sebagian kecil dari bentuk gerakan kebathilan. Akan muncul gerakan-gerakan lebih dahsyat dalam bentuk dan nama yang lain. Sehingga kita tidak boleh terlalu euforia dengan kemenangan yang telah kita raih. Kita jangan terpana dengan hasil yang telah kita dapatkan tapi harus segera bangkit mempersiapkan kader-kader yang lebih matang dan lebih siap pakai.
Untuk itulah ketika dia mendapat amanah sebagai Ketua Biro Da’wah Dan Publikasi Pemuda Muhammadiyah Wilayah Sulawesi Selatan dan Tenggara priode 1966-1968 dia manfaatkan peluang itu untuk melakukan pengkaderan. Pengkaderan yang ingin dilakukannya adalah ingin membuka semacam perkampungan untuk pusat pengkaderan. Ulama-ulama dan pakar-pakar sebagai tenaga pengajar dan pelatih akan dibuatkan tempat tinggal senyaman mungkin agar orang terhormat yang sudah mulai langka itu tidak lagi terganggu pikirannya oleh tetek bengek urusan dunia. Dalam perkampungan ini dapat dijalankan syari’at Islam dengan bebas. Penertiban pergaulan tentu dapat diatur dengan baik.

Sampai kepada masalah pernikahan dapat dilaksanakan dengan mudah. Termasuk biaya pendidikan anak-anaknya dan biaya-biaya lainnya akan ditanggung pengurus. Sehingga konsentrasinya hanya kepada pengkaderan. Untuk itu Muhsin Kahar bersama teman-temannya yang sejiwa dan seperasaan dengan dia telah membuat komitmen untuk bekerja keras memenuhi segala fasilitas yang diperlukan. Yang penting pengkaderan ini dapat berjalan lancar dan sukses. Didalamnya juga akan disiapkan tempat berkebun dan berternak unggas, kambing dan sapi. Lokasinya ditata seasri mungkin yang membuat penghuninya betah karena disamping menyejukkan mata juga menghasilkan rupiah.

Di Cina dan Syanggit

Lokasi yang akan digunakan untuk maksud tersebut telah ditemukan di Kabupaten Bone, jelasnya di Kecamatan Cina atas jasa Ketua Pemuda Muhamamdiyah Daerah Kabupaten Bone, Khalik Hayat. Luasnya ratusan hektar. Sangat memungkinkan untuk sebuah perkampungan pengkaderan.
Nantinya di tempat itu akan diterima utusan-utusan dari seluruh daerah Sulawesi Selatan dan Tenggara, bahkan dari seluruh Indonesia.

Ide untuk membuka pusat pengkaderan yang memerlukan areal yang cukup luas ini, adalah karena terilhami oleh sebuah tulisan didalam buku Rangkaian Mutu Manikam, kumpulan buah pikiran Kyai Hadji Mas Mansur[17]. Dalam buku itu diceritakan pengalaman Kyai H.Mas Mansur, ketika masih belajar di Universitas Al-Azhar Kairo. Putra Kyai Haji Ahmad Marzuki di Surabaya itu pernah berkunjung ke sebuah tempat pengkaderan yang terletak ditengah-tengah Benua Afrika, sebelah selatan kota Tripoli. Perjalanan kesana dari Kairo (Mesir) memakan waktu enam hari enam malam lebih 3,5 jam dengan menggunakan onta. Desa tempat pengkaderan itu bernama Syanggit. Dipimpin oleh seorang ulama, Seikh Sidi Abdullah. Di tengah desa itu terdapat sebuah sungai yang melintas. Disekitarnya penuh tanaman kurma dan tin. Ada juga ladang gandum. Tempat pengkaderan itu memiliki 100 ekor sapi dan 250 ekor kambing peliharaan. Ada juga beberapa ekor onta dan kuda. Itu semua adalah milik Syeikh Sidi Abdullah sekeluarga yang mengelola tempat pengkaderan itu.

Penghuninya terdiri dari 5000 orang santri. Memiliki sebuah asrama yang terdiri dari 100 kamar yang luas. Kegiatan santri sehari-hari adalah pada jam 04.00 santri-santri bangun untuk shalat Subuh diimami langsung oleh pimpinannya. Setelah shalat Subuh masing-masing santri masuk ke kamarnya untuk mengulang pelajarannya. Jam 07.00 hingga jam 10.00 berada di kelas untuk belajar. Keluar dari kelas tersebar ada yang ketepi sungai, ada yang ke bawah pohon membawa pelajarannya masing-masing hingga waktu dhuhur masuk. Setelah shalat Dhuhur dan makan siang mereka tidur hingga jam 15.30. Setelah usai shalat Ashar diadakan latihan pidato dan berdebat.

Antara shalat maghrib dan Isya diberi kebebasan untuk beribadah sesuai yang dikehendaki. Ada yang tadarrus Al-Qur’an, ada yang melakukan wirid, ada yang tafakkur, ada yang berdiskusi tentang hadits, ada yang menulis. Begitulah hingga waktu Isya masuk. Ba’da Isya mengikuti pelajaran maksus dalam ilmu tasawuf dan pelajaran akhlak hingga jam 23.00. Setelah itu santri-santri shalat tahajjud hingga jam 24.00. Usai shalat tahajjud barulah santri-santri diperkenankan masuk kamar masing-masing untuk tidur. Demikian berlangsung setiap hari. Khusus pada hari Jum’at santri-santri berolah raga: menunggang kuda, berenang, latihan perang-perangan,dll.

Santri-santri setiap pagi mendapat suguhan segelas susu sapi, tengah hari dibagikan lagi satu gelas susu sapi dengan satu potong roti dan keju serta zaitun. Ba’da Ashar mendapat gorengan korma yang teramat lezat rasanya beserta satu cangkir susu kambing. Ba’da Isya santri-santri mendapat lagi suguhan setengah potong roti, tiga buah tin dan setengah gelas susu sapi.

Lamanya belajar di pondok ini adalah 5 tahun. Diantara 5000 santri ada 500 orang yang hafal Qur’an, hampir 1000 orang yang menghafal kitab Muwatta, karangan Imam Malik. Gedung perpustakaannya cukup besar. Tapi tidak ada buku filsafat. Kitab Ikhya ‘Ulumuddin tidak didapati pada deretan buku-buku di perpustakaan itu. Kalau ada santri yang sakit dikeluarkan dari pondok untuk ditempatkan di tempat perawatan yang ditemani 2 orang yang ditunjuk oleh sisakit. Di pondok ini dilarang keras merokok. Semua santri pandai berenang dan menunggang kuda. Keanehan lain yang terasa, tidak seorangpun perempuan yang nampak di desa itu sampai anak-anak perempuan kecil sekalipun. Seolah-olah desa itu adalah desa laki-laki.

Kalau ada santri yang telah menamatkan pelajarannya Sidi Abdullah mengadakan acara syukuran untuk menjamu seluruh santri dengan memotong 3 ekor sapi dan 5 ekor kambing. Kalau santri-santri yang telah tamat itu akan meninggalkan pondok diantar oleh Syeikh Sidi Abdullah dan seluruh guru-guru serta santri-santri. Dikala akan berpisah semua meneriakkan takbir.

Cerita K.H.Mas Mansur ini yang membuat Ustadz Muhsin Kahar sangat tertarik dan memberinya dorongan keras untuk juga dapat membuat perkampungan pengkaderan seperti itu. Karena sebelumnya memang sudah sering terlintas dipikirannya walaupun masih remang-remang, bagaimana dapat mewujudkan tempat pengkaderan yang betul-betul dapat mengahasilkan kader-kader yang handal dan mumpuni. Tentu tidak seperti itu persis yang akan didirikannya tapi akan disesuaikan dengan kondisi. Dia gigih sekali memperjuangkan idenya itu. Keyakinannya mengatakan bahwa apa yang ada di tengah-tengah Benua Afrika itu Insya Allah dapat juga diwjudkan di Sulawesi Selatan. Itu yang menyebabkan setiap pertemuan keinginannya itu selalu diketengahkan dengan maksud agar orang-orang tua yang dianggap berkempeten dapat tergugah. Dijelaskan bahwa, “Hal ini jangan dianggap terlalu ideal. Karena kalau diupayakan dengan penuh kesungguhan Insya Allah untuk mewujudkannya tidaklah seberat yang dibayangkan. Dan kami bersama teman-teman angkatan muda telah membuat komitmen untuk itu”. Demikian selalu dijelaskan.

Setelah berulang kali diangkat dalam pertemuan sampai pihak orang-orang tua Muhammadiyah mungkin kehabisan alasan untuk menolaknya dan memang orang-orang tua itu memiliki kecenderungan mewujudkan perkampungan pengkaderan seperti yang di inginkan Muhsin Kahar dan kawan-kawan itu. Akhirnya setelah melewati pembicaraan yang berulang-ulang saran itu diterima dan diperintahkan kepada anak-anak muda ini untuk mulai bekerja dengan penuh kesungguhan.

Edaran untuk pendaftaran ikut pendidikan ini telah tersebar keseluruh wilayah Sulselra. Umumnya pimpinan-pimpinan daerah Muhammadiyah merespons edaran itu dengan senang hati. Karena terasa sekali kurangnya tenaga muballigh di daerah-daerah. Dengan adanya pendidikan muballigh ini diharapkan dapat mengatasi krisis da’i. Apalagi kalau tamatan pendidikan ini dapat juga mengadakan pendidikan yang sama sebagaimana tercantum dalam edaran. Paling tidak mampu mencetak tenaga-tenaga khatib yang dapat disebar mengisi khutbah Jum’at di mesjid-mesjid yang kian bertambah jumlahnya tidak seimbang dengan jumlah muballigh yang dapat menjadi khatib.

Pimpinan-pimpinan Daerah Muhammadiyah di daerah-daerah bukan hanya merespons dengan pernyataan tapi langsung mengirim tenaga untuk mengikuti pendidikan ini. Sehingga terkumpul 40 orang peserta. Persepsi mereka dari Makassar akan bersama-sama berangkat ke Kecamatan Cina Kabupaten Bone, seperti yang ada dalam edaran.


[17] Pahlawan nasional, ulama besar dan politisi kawakan, Ketua PP Muhammadiyah priode 1936-1942. Buku ini disusun oleh Drs. Amir Hamzah Wirjosukarto yang beredar tahun 1968.
Share this article :

0 comments:



 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. PPAS HIDAYATULLAH - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger
Modifikasi Oleh Muhammad Albar