Oleh : Irfan Syauqi Beik
-Makalah disampaikan pada acara Sharia Economics Triumph Activities (SETiA), Aula FE UNS 15 November 2008
-Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, dan Kandidat Doktor Ekonomi Syariah IIUM (International Islamic University Malaysia)
Di antara problematika krusial yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah masalah kemiskinan dan pengangguran. Berdasarkan data Badan Pusat Statistika per Maret 2008, terlepas dari kontroversi yang timbul dari data tersebut, tingkat kemiskinan di Indonesia berkisar pada angka 34,96 juta jiwa. Namun demikian, setelah harga BBM dinaikkan pada bulan Mei 2008, angka tersebut diprediksikan naik sebesar 8,5 persen. Belum ada data pasti bagaimana dampak terhadap kemiskinan setelah harga bensin premium diturunkan Rp 500. Sementara itu, World Bank dalam laporannya pada tahun 2007 menyebutkan bahwa angka kemiskinan di Indonesia mencapai 108,7 juta jiwa, atau 49 persen dari jumlah penduduk di tanah air.
Munculnya perbedaan pada kedua lembaga tersebut dikarenakan adanya perbedaan pendekatan dan kriteria yang digunakan. BPS menggunakan standar 2100 kilo kalori sebagai ukuran kemiskinan, atau senilai pendapatan per kapita Rp 152.847 per bulan. Artinya, seseorang dikatakan sebagai miskin apabila berpendapatan di bawah angka tersebut. Sedangkan World Bank menggunakan standar pendapatan per kapita USD 2 per hari, dimana angka ini disebut juga sebagai angka kemiskinan absolut. Maknanya, hampir separuh penduduk Indonesia berpendapatan di bawah USD 2 per hari.
Sementara itu, pengangguran juga menjadi masalah krusial yang belum terpecahkan dengan baik. Meski mengalami penurunan dari tahun sebelumnya sebesar 1,1 juta orang, pengangguran terbuka di tanah air berdasarkan data BPS per Februari 2008 mencapai 9,4 juta orang, atau 8,5 persen dari total angkatan kerja. Dari angka ini, 4,5 juta orang di antaranya adalah lulusan SMA/SMK/diploma dan universitas.
Pengangguran menurut BPS didefinisikan sebagai orang yang bekerja kurang dari 1 jam setiap minggunya. Jika seseorang bekerja lebih dari 1 jam setiap minggu, meskipun pendapatannya tidak mencukupi, namun ia tidak bisa dikatakan sebagai pengangguran. Kriteria ini kemudian mengundang kritikan sejumlah pakar karena negara-negara lain, terutama negara maju, pada umumnya menggunakan standar kerja sekurang-kurangnya 15 jam per minggu sebagai syarat minimal agar tidak dikategorikan sebagai pengangguran.
Klaim bahwa pertumbuhan ekonomi mampu mengurangi pengangguran juga tidak sepenuhnya tepat. Hal ini dikarenakan oleh kenyataan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih didominasi oleh sektor-sektor non tradable dalam perekonomian (sektor jasa, seperti telekomunikasi) yang bersifat padat modal dan kurang menyerap tenaga kerja, bila dibandingkan dengan sektor tradable yang menyerap banyak tenaga kerja, seperti pertanian dan manufaktur. Pada tahun 2007 lalu misalnya, sektor telekomunikasi tumbuh 20 persen, jauh melebihi pertanian dan manufaktur yang masing-masing tumbuh sebesar 2-3 persen dan 4-5 persen.
Daya beli masyarakat pun mengalami penurunan. Sebagai contoh, berdasarkan kajian Tim Indonesia Bangkit, upah riil petani pada tahun 2007 mengalami penurunan sekitar 0,2 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Demikian pula dengan upah riil buruh bangunan, pembantu rumah tangga, dan tukang potong rambut, mengalami penurunan masing-masing sebesar 2 persen, 0,5 persen, dan 2,5 persen. Masih dalam periode yang sama, upah riil buruh industri mengalami penurunan sebesar 1,2 persen. Menurunnya upah riil kelompok rakyat kecil tersebut mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi tahun lalu sesungguhnya lebih banyak dinikmati oleh kelompok masyarakat menengah ke atas. Sementara orang-orang miskin tetap terpuruk dan mengalami ketidakberdayaan.
Tingginya angka kemiskinan dan pengangguran ini juga sepertinya belum akan menunjukkan tren penurunan. Hal ini disebabkan, selain oleh faktor domestik, juga oleh faktor eksternal yang dampaknya sangat terasa, yaitu krisis keuangan global. Hingga saat ini, krisis keuangan global belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir, meski beberapa negara besar dunia telah membuat sejumlah rencana penyelamatan, seperti AS dengan bail out plan senilai USD 700 milyar, dan juga China dengan paket stimulus senilai USD 586 milyar. Kondisi perekonomian global ini juga telah membuat PM Inggris Gordon Brown untuk mendesak para pemimpin dunia untuk mau merubah arsitektur sistem keuangan global yang ada sekarang.
Di tengah situasi seperti ini, maka Indonesia perlu mencari sejumlah formula kebijakan baru yang dapat membantu mempercepat upaya pengentasan kemiskinan dan pengurangan pengangguran. Apalagi K.A. Ishak dari Oregon University AS pada tahun 2003 mempublikasikan hasil riset yang menunjukkan kegagalan lembaga-lembaga pembangunan internasional di dalam mengurangi kemiskinan global. Sehingga, ia pun merekomendasikan perlunya mengadopsi strategi baru dalam memerangi kemiskinan global. Dalam riset itu pula, Ishak menegaskan bahwa zakat harus dioptimalkan mengingat ia adalah instrumen yang secara tradisional dan kultural dekat dengan kehidupan masyarakat Timteng dan Afrika Utara. Karena itu, bagi Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim, optimalisasi instrumen ZIS merupakan kebutuhan yang tidak dapat di tawar-tawar lagi.
Zakat dan Sharing Economy
Zakat, di samping sebagai ibadah mahdlah, juga merupakan ibadah yang memiliki dimensi sosial ekonomi, sehingga, meminjam istilah Yusuf Qardlawi, disebut sebagai al-ibadah al-maaliyah al-ijtima’iyyah. Namun demikian, kajian-kajian zakat dalam dimensi sosial ekonomi ini masih belum sebanyak kajian dimensi ibadah mahdlah-nya. Salah satu bentuk kajian yang saat ini tengah berkembang di Barat adalah studi tentang konsep sharing economy, yaitu perekonomian yang didasarkan pada semangat berbagi dan memberi.
Yochai Benkler, seorang profesor pada sekolah hukum Universitas Yale AS, menyatakan bahwa konsep sharing atau berbagi, merupakan sebuah modalitas yang sangat penting untuk memacu dan meningkatkan produksi dalam ekonomi. Ia bahkan menyatakan bahwa perusahaan yang mengembangkan konsep berbagi dalam interaksi antar komponen di dalamnya, akan menjadi lebih efisien dibandingkan dengan perusahaan yang tidak mau menerapkannya. Sebagai contoh, motivasi karyawan perusahaan yang mendapat bonus akan jauh lebih baik bila dibandingkan dengan karyawan yang tidak pernah mendapatkannya. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Asad Zaman, seorang profesor ekonomi syariah pada International Islamic University Pakistan, dimana beliau menegaskan pentingnya semangat berbagi dan memberi, sebagai inti yang akan menggerakkan perekonomian sebuah bangsa.
Dalam bahasa yang lebih gamblang, Swiercz dan Patricia Smith dari Universitas Georgia AS menegaskan bahwa solusi terbaik untuk menghadapi berbagai permasalahan tradisional resesi dan bahkan depresi ekonomi, sebagaimana yang saat ini mengancam AS, adalah diperlukannya semangat dan mekanisme “berbagi” antar komponen dalam sebuah perekonomian. Semangat berbagi inilah yang akan dapat mempertahankan level kemakmuran sebuah perekonomian. Mereka menyimpulkan bahwa ada korelasi yang sangat kuat antara memberi dan berbagi, dengan tingkat kemakmuran dan kesejahteraan.
Dengan logika tersebut, maka zakat yang diberikan oleh muzakki kepada mustahik pada dasarnya merupakan refleksi dari semangat berbagi dan memberi atau sharing. Secara makro, zakat yang diberikan ini akan meningkatkan daya beli masyarakat miskin. Peningkatan daya beli ini akan mendorong naiknya permintaan agregat, yang kemudian akan menggerakkan seluruh perekonomian, karena pada sisi penawaran terdapat peningkatan yang berdampak pada terbukanya lapangan pekerjaan. Secara otomatis, tingkat pendapatan pun akan naik.
Jika dianalisa secara lebih dalam, logika “berbagi” yang berkorelasi positif dengan peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan sesungguhnya merupakan logika yang dikembangkan oleh Al Quran dan hadits. Dalam banyak ayat, Allah SWT mengaitkan antara “berbagi”, melalui instrumen ZIS, dengan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan. Misalkan pada QS 30:39, dimana Allah SWT membandingkan antara riba dengan zakat. Riba, seolah-olah menambah harta (yang artinya menumbuhkan perekonomian) di sisi manusia, namun di sisi Allah sama sekali tidak bertambah. Sedangkan zakat, yang seolah-olah mengurangi harta di sisi manusia, namun di sisi Allah justru bertambah dengan prosentase pertumbuhan yang berlipat-lipat. Demikian pula pada ayat-ayat yang lain, dengan menggunakan berbagai terminologi pertumbuhan, seperti al-mudh’ifuun (berlipat ganda), ‘asyrum mislaha (10 kali lipat), dan lain-lain.
Hal ini menarik untuk dikaji karena saat ini logika-logika tersebut mulai terbukti secara empirik. Karena itu, saat ini muncul sebuah adagium yang semakin populer, yaitu “to give is basically to invest”. Artinya, memberi pada dasarnya merupakan investasi, yang akan mendatangkan return atau keuntungan. Apalagi keuntungan yang didapat itu bersifat dunia dan akherat. Paradigma inilah yang harus dikembangkan. Harapannya, ini akan mendorong semangat umat Islam untuk mau berzakat/infak/sedekah. ZIS tidak lagi dipandang sebagai sebuah beban, melainkan sebuah kebutuhan hidup yang harus dipenuhi. Worldview semacam ini harus terus menerus disosialisasikan kepada seluruh lapisan masyarakat. Bisa dibayangkan, jika setiap orang berpikir bahwa ZIS adalah investasi yang bernilai ibadah, maka akan terjadi lompatan besar pada sisi penghimpunan dana ZIS, sehingga ia dapat berperan secara lebih aktif dalam pembangunan bangsa. Tinggal bagaimana kita mengelola program pendayagunaan yang bersifat efektif, sehingga peran ZIS ini menjadi optimal.
Optimalisasi ZIS
Paradigma to give is basically to invest ini pada dasarnya merupakan jawaban atas keraguan sejumlah ekonom akan kemampuan zakat dalam mengurangi kemiskinan. Apalagi potensi dan aktualisasi dana ZIS masih sangat kecil, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di negara-negara lain. Monzer Kahf misalnya, dalam sebuah riset yang dipublikasikan tahun 2002 lalu menemukan bahwa realisasi penghimpunan zakat di Arab Saudi, Yaman dan Pakistan nilainya masih sangat minim, yaitu di bawah 0,3-0,4 persen dari total GDP mereka. Begitu pula dengan penghimpunan zakat di Mesir dan Yordania yang masih sangat minim. Boleh jadi, minimnya realisasi itu merupakan cermin kesadaran umat Islam yang masih rendah terhadap kewajiban agamanya. Karena itu, penulis menganalisa perlunya sejumlah langkah yang harus diambil oleh para pengambil kebijakan negeri ini dalam mengoptimalisasikan peran ZIS sebagai institusi yang bertanggung jawab dalam upaya pengentasan kemiskinan.
1. Penguatan Regulasi dan Kelembagaan :
Regulasi merupakan faktor yang sangat penting. Salah satu faktor keberhasilan Malaysia menjadikan dirinya sebagai icon zakat internasional terletak pada dukungan regulasi yang sangat kuat dari pemerintahnya. Memang dilihat dari sejarahnya, peraturan tentang zakat di negeri jiran tersebut telah ada sejak lama. Di antara peraturan zakat tertua yang berhasil terekam adalah sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 3, Bab 2 Tembera Dato Seri Paduka tahun 1667 M (Winstedt, 1928). Sedangkan Yoshe (1979), seorang ilmuwan Israel, mengklaim bahwa peraturan zakat secara formal muncul pada masa awal penjajahan Inggris di tanah Melayu tersebut. Namun demikian, para ilmuwan Malaysia menyatakan bahwa kebijakan zakat telah ada sejak Islam masuk ke negeri tersebut (Mahamood, 2007).
Dalam perkembangannya, kebijakan tentang zakat diadopsi dan dikembangkan oleh masing-masing negara bagian di Malaysia secara otonom, jauh sebelum Malaysia memperoleh kemerdekaan pada tahun 1957. Kondisi tersebut terus berlanjut hingga tahun 2000an ini. Baru pada bulan Maret 2004, Perdana Menteri Malaysia membentuk suatu lembaga khusus yang bertanggung jawab langsung kepadanya, yang diberi nama Jabatan Wakaf, Zakat, dan Haji (JWZH). Diantara fungsi lembaga tersebut adalah sebagai koordinator kebijakan zakat pada tingkat nasional, dimana selama ini berada di bawah kekuasaan masing-masing sultan dan majelis agama negara bagian.
Dukungan pemerintah Malaysia juga tercermin dari kebijakan zakat pengurang pajak, meski baru pada level zakat dan pajak individu, dan belum zakat dan pajak korporasi. Yang menarik adalah, pasca penerapan kebijakan tersebut, pendapatan zakat dan pajak meningkat secara simultan. Hal tersebut dapat dilihat dari tabel berikut ini.
Tabel 1 : Pendapatan Zakat dan Pajak Malaysia (dalam ringgit)
Tahun
Zakat (1)
Pajak (2)
Prosentase Zakat terhadap Pajak (3)
2001
321 juta
79.57 milyar
0.40
2002
374 juta
83.52 milyar
0.45
2003
408 juta
92.61 milyar
0.44
2004
473 juta
99.40 milyar
0.48
2005
573 juta
106.30 milyar
0.54
Sumber : (1) Laporan Tahunan Pusat Pungutan Zakat Malaysia, 2006
(2) Laporan Kementerian Keuangan Malaysia, 2006
(3) diolah
Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan jika zakat mampu berperan aktif di dalam mengurangi angka kemiskinan di Malaysia. Hal tersebut antara lain dapat dibuktikan oleh riset Patmawati (2006), seorang pakar zakat asal Universiti Malaya (UM) Malaysia, yang menemukan bahwa zakat mampu mengurangi jumlah keluarga miskin, mengurangi tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan di wilayah Selangor, Malaysia. Kesenjangan pendapatan pun dapat dikurangi. 10 persen kelompok masyarakat terbawah dapat menikmati 10 persen kekayaan karena zakat. Jika tanpa zakat, maka kelompok masyarakat terbawah tersebut hanya menikmati 9,6 persen kekayaan saja. Sedangkan 10 persen kelompok teratas menikmati 32 persen kekayaan, atau turun dari angka 35,97 persen jika tanpa zakat. Ini membuktikan bahwa kesenjangan antar kelompok dapat dikurangi.
Adapun dukungan regulasi yang diperlukan bagi pembangunan zakat di tanah air adalah : Pertama, perlunya amandemen UU 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat. Kewenangan BAZNAS dan pembagian fungsi antara BAZNAS, BAZDA dan LAZ perlu diperjelas. BAZNAS harus didorong menjadi otoritas zakat tertinggi laiknya BI yang menjadi otoritas moneter tertinggi. Jika perlu, dibuat menjadi setingkat kementerian. Kedua, dukungan anggaran dan dana yang memadai. Ketiga, penerapan kebijakan zakat pengurang pajak, untuk menstimulasi peningkatan penerimaan zakat.
2. Peningkatan Kualitas SDM Perzakatan
Selanjutnya yang juga sangat penting adalah SDM (sumberdaya manusia). Bagaimanapun, kinerja sebuah institusi termasuk amil zakat, sangat ditentukan oleh kualitas sumberdaya manusia yang dimilikinya. Karena itu, peran kampus dan lembaga pendidikan lainnya di dalam menciptakan kurikulum pendidikan ekonomi syariah yang komprehensif merupakan kebutuhan yang sangat mendesak.
3. Peningkatan Sosialisasi Zakat
Sosialisasi merupakan variabel yang sangat penting. Hingga saat ini, masih banyak masyarakat yang belum mengetahui secara jelas apa dan bagaimana pengelolaan zakat. Masyarakat harus diberikan proses penyadaran secara berkelanjutan, melalui proses sosialisasi yang bersifat komprehensif, antara lain mencakup sosialisasi makna dan hakekat zakat, aturan kelembagaan termasuk masalah audit dan pengawasan, dan sosialisasi program. Sehingga, kecurigaan dan prasangka negatif, sebagaimana tudingan bahwa dana zakat dijadikan sumber dana terorisme oleh salah seorang pengamat intelijen beberapa waktu lalu, dapat dieliminir.
Penutup
Insya Allah, melalui proses pembangunan yang berkesinambungan, maka upaya untuk menjadikan zakat sebagai panglima yang memerangi kemiskinan dapat diwujudkan dan direalisasikan. Wallahu’alam.
Diposkan oleh UNIT PELAYANAN ZAKAT (UPZ) di 17:38 0 komentar Link ke posting ini
Label: Makalah Zakat
Selasa, 2008 November 04
Pejabat Negara Bayar Zakat Jadi Contoh untuk Masyarakat
Fitraya Ramadhanny - detikNews
Kamis, 11/10/2007 12:58 WIB
Jakarta - Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) berharap langkah para pengelola negara membayar zakat menjadi contoh bagi masyarakat. Potensi zakat di Indonesia mencapai Rp 19,3 triliun.
"Kalau tokoh teladan umat memberikan kepercayaan terhadap Baznas, kita harap diikuti masyarakat luas," kata Ketua Umum Baznas Didin Hafidhuddin.
Hal ini disampaikan Didin usai menerima zakat dari Presiden SBY di Kantor Presiden, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Kamis (11/10/2007).
Menurut dia, Baznas juga melakukan hal serupa di DPR, MPR dan DPD pada Rabu 10 Oktober.
"Ketua DPR juga langsung menyerahkan zakatnya ke Baznas," ujarnya.
Selain menyosialisasikan zakat, Didin menjelaskan, Baznas ditargetkan menjadi lembaga yang amanah dan kredibel.
Baznas memiliki program memberdayakan zakat untuk kaum miskin seperti pendidikan dan mendorong kegiatan usaha.
"Dari sebuah riset, potensi dana zakat di negara kita mencapai Rp 19,3 triliun. Ini adalah salah satu instrumen pengentasan kemiskinan," kata Didin.
Diposkan oleh UNIT PELAYANAN ZAKAT (UPZ) di 13:29 0 komentar Link ke posting ini
Label: Berita Zakat
Memperkuat Peran Zakat dalam Pembangunan Nasional
Related Articles
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
0 comments:
Post a Comment