Home » » Zakat Dan Redistribusi Pendapatan

Zakat Dan Redistribusi Pendapatan

(UPZ) dari Badan Amil Zakat Nasional(BAZNAS)
Senin, 2008 November 03
Zakat Dan Redistribusi Pendapatan
Sumber: http://www.baznas.or.id/ind/index.php

1. Pendahuluan

Salah satu problematika mendasar yang saat ini tengah dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah problematika kemiskinan. Berdasarkan data resmi, angka kemiskinan di negara kita mencapai 36 juta jiwa, atau sekitar 16,4 persen dari total penduduk Indonesia[2]. Sementara itu, angka pengangguran juga sangat tinggi, yaitu sekitar 28 juta jiwa, atau 12,7 persen dari total penduduk[3].

Fakta ini merupakan hal yang sangat ironis, mengingat Indonesia adalah sebuah negara yang dikaruniai kekayaan alam yang luar biasa hebatnya. Namun demikian, kondisi ini tidak termanfaatkan dengan baik, sehingga yang terjadi justru sebaliknya. Di mana-mana kita menyaksikan fenomena eksploitasi alam yang tidak terkendali. Hutan-hutan dibabat habis, sehingga menyebabkan kerugian negara yang mencapai 30 trilliun rupiah (3 milyar dolar AS) setiap tahunnya[4]. Sumberdaya alam lainnya, seperti mineral dan barang tambang, juga tidak dapat dioptimalkan pemanfaatannya bagi sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Yang terjadi adalah, semua kekayaan tersebut, terkonsentrasi di tangan segelintir kelompok sehingga menciptakan kesenjangan yang luar biasa besarnya. Padahal, Allah SWT telah mengingatkan bahwa pemusatan kekayaan di tangan segelintir orang adalah perbuatan yang sangat dibenci-Nya. Akibatnya adalah munculnya kesenjangan yang luar biasa di tengah-tengah masyarakat kita.

Hal yang tidak kalah menyedihkan adalah bahwa kesenjangan ini telah menyebabkan terjadinya proses perubahan budaya bangsa yang sangat signifikan, dari bangsa yang berbudaya ramah, suka bergotong royong, dan saling toleransi, menjadi bangsa yang hedonis, kasar, pemarah, dan melupakan nilai-nilai kemanusiaan. Yang kaya semakin arogan dengan kekayaannya, sementara yang miskin semakin terpuruk dalam kemiskinannya. Akibatnya, potensi konflik sosial menjadi sangat besar. Dan hal ini telah dibuktikan dengan beragamnya konflik sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kita, terutama dalam satu dasawarsa terakhir ini.

Kondisi ini sesungguhnya merupakan potret dari kemiskinan struktural. Artinya, kemiskinan yang ada bukan disebabkan oleh lemahnya etos kerja, melainkan disebabkan oleh ketidakadilan sistem. Kemiskinan model ini sangat membahayakan kelangsungan hidup sebuah masyarakat, sehingga diperlukan adanya sebuah mekanisme yang mampu mengalirkan kekayaan yang dimiliki oleh kelompok masyarakat mampu (the have) kepada kelompok masyarakat yang tidak mampu (the have not).

Zakat, sebagai rukun Islam yang ketiga, merupakan instrumen utama dalam ajaran Islam, yang berfungsi sebagai distributor aliran kekayaan dari tangan the have kepada the have not. Ia merupakan institusi resmi yang diarahkan untuk menciptakan pemerataan dan keadilan bagi masyarakat, sehingga taraf kehidupan masyarakat dapat ditingkatkan.

II. Urgensi Zakat Melalui Lembaga (amil)

Pelaksanaan zakat didasarkan pada firman Allah SWT yang terdapat dalam QS. At-Taubah ayat 60. Juga pada firman Allah SWT dalam QS. At-Taubah ayat 103. Dalam QS. 9 : 60 tersebut dikemukakan bahwa salah satu golongan yang berhak menerima zakat (mustahik zakat) adalah orang-orang yang bertugas mengurus urusan zakat (�amilina �alaiha). Sedangkan dalam QS. 9 : 103 dijelaskan bahwa zakat itu diambil (dijemput) dari orang-orang yang berkewajiban untuk berzakat (muzakki) untuk kemudian diberikan kepada mereka yang berhak menerimanya (mustahik). Yang mengambil dan yang menjemput tersebut adalah para petugas (�amil). Imam Qurthubi[5] ketika menafsirkan ayat tersebut (QS. 9 : 60) menyatakan bahwa �amil itu adalah orang-orang yang ditugaskan (diutus oleh imam / pemerintah) untuk mengambil, menuliskan, menghitung dan mencatatkan zakat yang diambilnya dari para muzakki untuk kemudian diberikan kepada yang berhak menerimanya.

Karena itu, Rasulullah saw pernah mempekerjakan seorang pemuda dari suku Asad, yang bernama Ibnu Lutaibah, untuk mengurus urusan zakat Bani Sulaim[6]. Pernah pula mengutus Ali bin Abi Thalib ke Yaman untuk menjadi amil zakat[7]. Muaz bin Jabal pernah diutus Rasulullah saw pergi ke Yaman, di samping bertugas sebagai da�i (menjelaskan ajaran Islam secara umum), juga mempunyai tugas khusus menjadi amil zakat[8]. Demikian pula yang dilakukan oleh para khulafaur-rasyidin sesudahnya, mereka selalu mempunyai petugas khusus yang mengatur masalah zakat, baik pengambilan maupun pendistribusiannya. Diambilnya zakat dari muzakki (orang yang memiliki kewajiban berzakat) melalui amil zakat untuk kemudian disalurkan kepada mustahik, menunjukkan kewajiban zakat itu bukanlah semata-mata bersifat amal karitatif (kedermawanan), tetapi juga ia suatu kewajiban yang juga bersifat otoritatif (ijbari)[9].

Pengelolaan zakat oleh lembaga pengelola zakat, apalagi yang memiliki kekuatan hukum formal, akan memiliki beberapa keuntungan[10], antara lain :

Pertama : Untuk menjamin kepastian dan disiplin pembayar zakat. Kedua : untuk menjaga perasaan rendah diri para mustahik zakat apabila berhadapan langsung untuk menerima zakat dari para muzakki. Ketiga : Untuk mencapai efisien dan efektifitas, serta sasaran yang tepat dalam penggunaan harta zakat menurut skala prioritas yang ada pada suatu tempat. Keempat : Untuk memperlihatkan syiar Islam dalam semangat penyelenggaraan pemerintahan yang islami. Sebaliknya, jika zakat diserahkan langsung dari muzakki kepada mustahik, meskipun secara hukum syariah adalah sah, akan tetapi di samping akan terabaikannya hal-hal tersebut di atas, juga hikmah dan fungsi zakat, terutama yang berkaitan dengan kesejahteraan umat, akan sulit diwujudkan.

Keuntungan Zakat Melalui Lembaga

Menjamin kepastian dan disiplin muzakki

Menjaga perasaan rendah diri mustahik

Sasaran yang tepat sesuai prioritas

Syi'ar Islam


Gambar 1. Keuntungan Zakat Melalui Lembaga (Amil)

Di Indonesia, pengelolaan zakat diatur berdasarkan Undang-Undang No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dengan Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 581 tahun 1999 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 38 tahun 1999 dan Keputusan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No. D / 291 tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat. Meskipun harus diakui bahwa dalam peraturan-peraturan tersebut masih banyak kekurangan yang sangat mendasar, misalnya tidak dijatuhkannya sanksi bagi muzakki yang melalaikan kewajibannya (tidak mau berzakat), akan tetapi undang-undang tersebut mendorong upaya pembentukan lembaga pengelola zakat yang amanah, kuat dan dipercaya oleh masyarakat.

Dalam Bab II Pasal 5 undang-undang tersebut dikemukakan bahwa pengeloalaan zakat bertujuan:

1. Meningkatkan pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntutan agama.

2. Meningkatkan fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.

3. Meningkatkan hasil guna dan daya guna zakat.

Dalam Bab III Undang-Undang No. 38 tahun 1999 dikemukakan bahwa organisasi pengelola zakat terdiri dari dua jenis, yaitu Badan Amil Zakat (pasal 6) dan Lembaga Amil Zakat (pasal 7). Selanjutnya pada bab tentang sanksi (Bab VIII) dikemukakan pula bahwa setiap pengelola zakat yang karena kelalaiannya tidak mencatat atau mencatat dengan tidak benar tentang zakat, infak, sedekah, hibah, wasiat, waris dan kafarat, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 8, pasal 12 dan pasal 11 undang-undang tersebut, diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan dan / atau denda sebanyak-banyaknya Rp 30.000.000 (tiga puluh juta rupiah). Sanksi ini tentu dimaksudkan agar BAZ dan LAZ yang ada di negara kita menjadi pengelola zakat yang kuat, amanah, dan dipercaya oleh masyarakat, sehingga pada akhirnya masyarakat secara sadar dan sengaja akan menyerahkan zakatnya kepada lembaga pengelola zakat.

III. Zakat dan Redistribusi Pendapatan

Zakat, di samping termasuk ke dalam kategori ibadah mahdlah, juga memiliki dimensi ekonomi. Bahkan, dalam perspektif ilmu ekonomi, zakat dapat pula dijadikan sebagai instrumen utama kebijakan fiskal. Meskipun sangat disayangkan, bahwa hingga saat ini belum ada satu negara Islam pun di dunia ini yang menjadikan zakat sebagai instrumen utama kebijakan fiskal. Pada bagian ini, penulis bermaksud untuk menganalisis peran zakat sebagai alat redistribusi pendapatan dan kekayaan. Perhatikan QS. Adz-Dzariyat (51) ayat 19, dan juga QS Al-Ma�aarij (70) ayat 24-25.

Ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa harta yang dimiliki oleh seorang muslim tidaklah bersifat absolut. Artinya, tidak ada kepemilikan aset kekayaan yang bersifat mutlak. Ada bagian / prosentase tertentu yang diatur oleh syariah sebagai milik orang lain, yaitu milik kelompok dhuafa.

Pernyataan Allah SWT yang menegaskan bahwa ada bagian tertentu dalam harta seseorang yang bukan merupakan miliknya, menunjukkan bahwa harta tersebut harus dialirkan dan didistribusikan kepada pihak lain, yaitu orang-orang yang membutuhkan. Sehingga hal tersebut perlu diatur dalam sebuah mekanisme redistribusi yang jelas. Zakat, dalam hal ini, berperan sebagai instrumen yang mengatur aliran redistribusi pendapatan dan kekayaan. Persoalan redistribusi ini bukan merupakan persoalan yang sepele. Macetnya saluran distribusi kekayaan ini akan menyebabkan ketimpangan dan kesenjangan sosial. Bahkan, kesenjangan ini semakin meningkat tajam, terlebih lagi pada tiga dasawarsa terakhir, dimana yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.

Ketimpangan ini tidak hanya terjadi pada struktur sosial masyarakat dalam sebuah negara, melainkan juga terjadi dalam lingkup yang lebih besar lagi, yaitu lingkup dunia internasional. Berdasarkan data yang ada, 15 persen penduduk dunia hidup dengan pendapatan per kapita per hari sebesar 70-80 dolar AS. Pada umumnya mereka hidup di negara-negara Barat. Sementara sisanya, yaitu sekitar 85 persen, harus terpaksa hidup dengan pendapatan per kapita per hari di bawah 5 dolar AS. Kebanyakan diantara mereka tinggal di wilayah negara-negara berkembang yang mayoritas muslim[11].

Kalau kita melihat data di negara kita, persoalan kesenjangan yang dihadapi pun tidak kalah besarnya. Segelintir konglomerasi bisnis, sebagai contoh, mampu menyumbang GNP (Gross National Product) Indonesia sebanyak 58 persen. Sementara BUMN sendiri hanya mampu menyumbang 24 persen GNP. Sisanya, yaitu sebesar 18 persen, disumbang oleh mayoritas pengusaha kecil dan menengah yang jumlahnya mencapai + 40 juta jiwa[12]. Sehingga dengan data tersebut, adalah hal yang wajar jika kemudian kesenjangan sosial menimbulkan potensi konflik sosial yang besar.

Untuk itu, pelaksanaan kewajiban zakat merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak. Apalagi pengumpulan zakat di Indonesia masih terbilang sangat minim, yaitu sebesar 800 miliar rupiah, dari total potensi zakat yang mencapai 20 trilyun rupiah setiap tahunnya[13]. Untuk itu, kesungguhan dan kerja keras seluruh komponen bangsa masih sangat dibutuhkan, agar potensi zakat yang besar ini dapat tergali dan teroptimalkan dengan baik.

Dalam ajaran Islam, zakat adalah satu-satunya mekanisme teknis yang diungkap secara detil, yang memadukan aspek dimensi ibadah mahdlah dan dimensi ibadah sosial. Sebagai bukti antara lain kewajiban mengeluarkan zakat, kelompok penerima zakat, maupun prosentase yang harus dikeluarkan, telah diatur sedemikian lengkap oleh Islam, baik sebagaimana yang tertera dalam ayat-ayat Al-Quran maupun hadits Nabi. Tentu saja hal ini semakin memperkuat keyakinan bahwa zakat inilah solusi terhadap berbagai problematika ekonomi umat, terutama di dalam menghadapi persoalan kemiskinan dan kesenjangan sosial.

Sebagai sebuah instrumen, tentu saja zakat membutuhkan infrastruktur yang memadai, baik dalam bentuk regulasi dan kebijakan, hingga bentuk lembaga dan teknis operasional yang bersifat detil. Namun demikian, penulis berkeyakinan, jika fungsi zakat sebagai instrumen bagi redistribusi pendapatan dan kekayaan berjalan dengan baik, maka persoalan kemiskinan dan kesenjangan sosial dapat direduksi.


Wallahu�alam bi ash shawab.

[1] Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Republik Indonesia

[2] Data Biro Pusat Statistika (BPS) 2004

[3] Data Biro Pusat Statistika (BPS) 2002

[4] Data Departemen Kehutanan RI, 2004

[5] Al-Qurthubi. Al-Jami� Li Ahkam al-Quran, 1993. Jilid 7-8, h. 112-113.

[6] ibid, h. 113.

[7] ibid, h. 113.

[8] Ismail Al-Kahlani al-Shan�ani. Subulus-Salaam. juz. 2, h. 120.

[9] Abdurrahman Qadir. Zakat dalam Dimensi Mahdhah dan Sosial, 1998. h. 85.

[10] ibid, h. 87.

[11] Data IRTI (Islamic Research and Training Institute) Islamic Development Bank, 2004.

[12] Data Biro Pusat Statistika, 2005.
[13] Data BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) 2004.
Diposkan oleh UNIT PELAYANAN ZAKAT (UPZ) di 22:39
Label: Kenapa Zakat
0 komentar:
Share this article :

0 comments:



 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. PPAS HIDAYATULLAH - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger
Modifikasi Oleh Muhammad Albar